Jutaan Pekerja Terancam PHK Massal? Rencana Kemasan Rokok Polos Tuai Kecaman

Jika penyeragaman kemasan rokok diterapkan, Lamhot menilai ada elemen industri pendukung yang hilang dari rantai besar industri tembakau yang menyerap banyak tenaga kerja.
Suara.com - Legislator menanggapi rencana pemerintah yang berupaya menyusupkan kebijakan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes). Kebijakan ini mengadopsi aturan dari Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang diinisiasi oleh Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).
Wakil Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI), Lamhot Sinaga mengatakan, Indonesia tidak meratifikasi dan telah konsisten menolak FCTC karena mengancam industri tembakau nasional.
Namun, pemerintah berusaha menyusupkan aturan global tersebut melalui Rancangan Permenkes tentang penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.
"Terkait wacana penyeragaman kemasan rokok (tanpa identitas merek) dalam Rancangan Permenkes yang diambil dari aturan FCTC yang telah berlaku di beberapa negara, tentu saya tidak sepakat. Dari segi industri, ini tentu tidak menguntungkan," ujarnya seperti dikutip, Minggu (13/4/2025).
Baca Juga: Aturan Jual Rokok Dekat Sekolah Bikin Bingung, Produsen Sarankan Lebih Baik Tingkatkan Edukasi
Presiden Prabowo Subianto saat ini fokus memperbaiki ekonomi nasional dengan mendorong pembukaan lapangan kerja. Namun, upaya Kemenkes memaksakan aturan yang bersumber dari organisasi internasional yang sedang berpolemik itu, berpotensi memperparah ketidakstabilan ekonomi nasional.
Jika penyeragaman kemasan rokok diterapkan, Lamhot menilai ada elemen industri pendukung yang hilang dari rantai besar industri tembakau yang menyerap banyak tenaga kerja di Indonesia. Fakta menunjukkan industri tembakau Indonesia menyerap sekitar 6 juta tenaga kerja dalam rantai nilai yang panjang, mulai dari petani, buruh pabrik, pedagang, hingga pelaku industri kreatif.
Aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang bersumber dari FCTC justru akan memukul seluruh mata rantai ini dan berpotensi memicu gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) massal di tengah kondisi ekonomi yang masih rentan.
"Industri ini memiliki kontribusi signifikan terhadap perekonomian negara," beber dia.
Lamhot mengingatkan bahwa industri tembakau termasuk dalam salah satu industri asli Indonesia yang umurnya sangat panjang dan harus dilindungi dari intervensi kepentingan asing. Terutama kaitannya dengan campur tangan dalam kebijakan nasional, yang dapat mengancam kedaulatan negara.
Baca Juga: Sarat Polemik dan Intervensi Asing, Penyusunan Regulasi Pertembakauan Harus Libatkan Pihak Terdampak
Indonesia sebagai negara berdaulat memiliki hak penuh untuk menentukan kebijakan pengendalian tembakau sesuai kondisi nasional, tanpa tekanan dari kepentingan asing. Segala bentuk konvensi internasional seperti FCTC harus melalui proses persetujuan DPR, bukan disusupkan melalui jalur birokrasi seperti yang dilakukan Kemenkes melalui Rancangan Permenkes.
Lamhot menyatakan ketidaksepakatan jika Indonesia berkiblat pada FCTC. Terlebih lagi, Indonesia sebagai negara berdaulat dan pemerintahan Prabowo telah menetapkan Asta Cita yang memiliki aturan sendiri, menyesuaikan dengan kondisi lokal.
Dia menambahkan, Indonesia membutuhkan kebijakan pengendalian tembakau yang bijak, yang menyeimbangkan segala aspek, termasuk perlindungan terhadap industri nasional dan lapangan kerja. Bukan kebijakan yang hanya mengejar kepentingan asing dan mengorbankan kedaulatan bangsa.
"Indonesia tidak bisa diintervensi dari negara manapun untuk meratifikasi FCTC atau tidak," kata dia.
Diduga Diam-diam
Pemerintah diduga tengah merancang Peraturan Presiden (Perpres) yang akan mengatur lebih detail pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
Hal ini setelah, Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau Kemenkes RI, Benget Saragih, mengungkapkan bahwa Kemenkes sedang menyiapkan draft peraturan baru selain Rancangan Permenkes, yaitu Rancangan Perpres.
Dalam rancangan Perpres lebih mendetailkan cara Kementerian Perdagangan mengawasi pelarangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak.
"Untuk itu kita membutuhkan aturan turunan. Kemenkes sedang menyiapkan Perpres yang diharmonisasi dengan K/L. Jadi nanti Kementerian Perdagangan mengatur tentang penjualan 200 meter, artinya harus ada mekanismenya," ujar Benget beberapa waktu lalu.
Rancangan Perpres ini disinyalir akan menjadi turunan dari Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, yang sebelumnya telah mengatur zonasi penjualan dan iklan produk tembakau. Namun, kehadiran Rancangan Perpres ini justru menimbulkan kekhawatiran baru, terutama bagi sektor ritel yang sudah tertekan dengan aturan zonasi dan wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.
Menanggapi hal tersebut, Wakil Ketua Umum Asosiasi Koperasi dan Ritel Indonesia (Akrindo), Anang Zunaedi, menyatakan bahwa Rancangan Perpres ini berpotensi memberatkan pelaku usaha.
"Banyak toko yang sudah berdiri sebelum adanya fasilitas pendidikan atau tempat bermain. Kalau dipaksakan, ini akan sangat memberatkan," beber dia.
Anang juga mengkhawatirkan dampak ekonomi yang lebih luas. Pasalnya, penjualan rokok menyumbang sekitar 40 persen omzet pelaku UMKM. Jika dilarang, kebijakan ini bisa mematikan usaha kecil. Ia menilai kebijakan ini tidak adil dan rancu dalam penerapannya.