"Awalnya ibuk sempat ragu, tapi pas petugas Amartha datang dan bantu urus pengajuan, alhamdulillah cair juga modal usaha," ungkap Rosna.
Sejak 2021, ia menjadi mitra binaan Amartha. Selain pendanaan, Rosna juga mendapat pendampingan usaha, termasuk cara memasarkan kainnya lewat marketplace.
Kini, ia kembali tinggal di kampung halamannya di Solok. Rumah sudah direnovasi, suami mengelola ladang bawang, dan anak-anak turut membantu produksi maupun pemasaran.
Di tengah rumah mungilnya, terdengar denting alat tenun, seolah jadi lagu pengiring harapan yang tak pernah padam.
Warisan Budaya, Asa Masa Depan
Bagi Rosna, songket bukan sekadar kain. Ia adalah warisan budaya, identitas, dan bukti bahwa semangat bisa menembus batas usia. Ia berharap pemerintah tak hanya memberi pelatihan, tapi juga menyediakan alat tenun bagi setiap peserta. “Menenun itu harus langsung praktik. Tanpa alat, tak akan jadi,” ujarnya.
Motif favoritnya? Siku Keluang—simbol tanggung jawab dan keteguhan hati, yang baginya merepresentasikan perjuangan hidup seorang ibu, istri, dan pengusaha lokal yang kini mendunia.
Rosna juga ingin generasi muda tak alergi pada warisan tradisi.
"Siapapun yang punyo tekad, pasti akan basobok jalannyo,” tuturnya sembari tersenyum, tangan tak henti mengayun alat tenun.
Baca Juga: Kesuksesan UMKM Unici Songket Silungkang, Upaya BRI Dorong Warisan Budaya Tembus Pasar Internasional
Kisah Ibu Rosna menjadi refleksi nyata tentang tantangan dan peluang yang akan diangkat dalam The 2025 Asia Grassroots Forum oleh Amartha.