Kisruh ini bermula ketika tiga pekerja kena PHK secara tiba-tiba. Dengan alasan solidaritas, para buruh lantas melakukan aksi mogok kerja selama empat hari di awal Maret 2025.
Efeknya, pabrik tidak beroperasi dan disebutkan bahwa PT Yihong mengalami rugi besar dan secara resmi menutup operasional dan memutus hubungan kerja (PHK) terhadap seluruh 1.126 karyawan.
Pihak manajemen menyebut, aksi mogok kerja buruh menyebabkan keterlambatan produksi dan pembatalan pesanan dari buyer yang berdampak negatif pada perusahaan.
Manajemen PT Yihong Novatex dalam pernyataannya menyebutkan bahwa pembatalan pesanan tersebut telah menyebabkan kerugian finansial yang signifikan.
"Dengan tidak adanya pemasukan, perusahaan terpaksa menghentikan operasional dan melakukan PHK terhadap seluruh karyawan," tulis akun Instagram @jadiwirausahawan pada 5 April 2024, yang mengklaim berasal dari informasi perusahaan.
Isu beredar, PT Yihong memilih pergi dari Indonesia untuk mendirikan pabrik di negara lain.
Dari perspektif hukum, kasus ini menyentuh beberapa aspek penting dalam UU Ketenagakerjaan. Pertama, mengenai legalitas PHK massal yang diatur dalam UU No. 13/2003. Kedua, tentang hak pekerja yang menolak PHK untuk mendapatkan penyelesaian melalui Pengadilan Hubungan Industrial. Ketiga, mengenai batasan aksi buruh yang seharusnya tidak melampaui koridor hukum.
Namun demikian, peristiwa ini menjadi perhatian. Terutama dampak jangka panjang jika insiden semacam premanisme tersebut benar-benar terjadi, sehingga berimbas terhadap iklim investasi.
Praktik sweeping dan intimidasi di tempat kerja, yang kerap dikaitkan dengan unsur premanisme, dapat menjadi alarm merah bagi investor, terutama di sektor padat karya seperti industri alas kaki. Data dari BKPM menunjukkan bahwa faktor stabilitas ketenagakerjaan menempati posisi penting dalam pertimbangan investor memilih lokasi usaha.
Baca Juga: Jumlah Penumpang Turun, Badai PHK Hantui Maskapai Penerbangan Ini