Dear Petinggi BEI, IHSG Memang Rapuh dan Keropos!

Rabu, 09 April 2025 | 12:53 WIB
Dear Petinggi BEI, IHSG Memang Rapuh dan Keropos!
Pengunjung melihat layar pergerakan Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) di Bursa Efek Indonesia (BEI), Jakarta, Selasa (8/4/2025). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pasar keuangan Indonesia kembali dikejutkan dengan tekanan jual masif pada perdagangan Selasa (8/4/2025), menyeret Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) ke jurang yang lebih dalam dibandingkan bursa regional lainnya. Bahkan, kepanikan yang melanda pelaku pasar memaksa otoritas Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk memberlakukan trading halt, menghentikan sementara perdagangan sebagai langkah darurat.

Meskipun sempat dibuka kembali setelah jeda singkat, IHSG tetap tak berdaya di zona merah, memperlihatkan pelemahan yang signifikan. Kalangan analis ramai menyebut sentimen negatif dari pasar Amerika Serikat (AS) dan Eropa sebagai pemicu utama gelombang aksi jual ini.

"Penurunan yang melampaui batas kewajaran ini jelas mengindikasikan adanya kepanikan luar biasa di kalangan investor," kata Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat dalam analisanya dikutip Rabu (9/4/2025).

Namun, pertanyaan besar yang mengemuka adalah: mengapa IHSG terpuruk lebih dalam dibandingkan bursa tetangga seperti Singapura, Malaysia, atau Thailand? Jawaban atas pertanyaan ini tidak hanya terletak pada imbas gejolak global, tetapi juga pada kerapuhan struktural pasar keuangan Indonesia dan respons otoritas yang dinilai kurang antisipatif dalam membangun ketahanan sistemik.

Penurunan tajam di bursa AS dan Eropa pada Senin (7/4/2025) memang menciptakan sentimen negatif di seluruh pasar Asia. Indeks pan-Eropa STOXX 600 anjlok 4,5%, diikuti penurunan serupa di London (FTSE 100 -4,38%) dan Paris (CAC 40 -4,78%). Meskipun Dow Jones di AS terkoreksi 0,91%, Nasdaq masih mampu bertahan di zona positif. Guncangan ini tak pelak menyeret pasar Asia, termasuk Indonesia.

Namun, narasi bahwa IHSG hanyalah "korban pasif" dari turbulensi global dinilai sebagai penyederhanaan yang berbahaya. Faktanya, bursa saham regional seperti Malaysia (KLCI) dan Filipina (PSEi) hanya mengalami koreksi moderat, sementara IHSG justru terjun bebas lebih dalam. Perbedaan signifikan ini mengindikasikan bahwa akar permasalahan tidak semata-mata berasal dari arus modal global, melainkan juga bersumber dari kerentanan spesifik yang melekat pada pasar Indonesia. Sebagai pasar berkembang (emerging market), Indonesia memang rentan terhadap fluktuasi aliran modal asing.

"Namun, fundamental makro yang selama ini digembar-gemborkan "cukup sehat" nyatanya tidak mampu membendung gejolak pasar secara efektif," ungkap Achmad.

Menurut dia, penurunan IHSG yang begitu dalam diduga kuat merupakan manifestasi dari kombinasi faktor internal yang membuat pasar modal Indonesia lebih rentan terhadap guncangan eksternal. Komposisi investor di BEI yang didominasi investor ritel dengan mentalitas jangka pendek dan kecenderungan panic selling, ditambah dengan porsi investor asing yang signifikan dengan dana "panas" (hot money) yang mudah keluar masuk, menciptakan struktur pasar yang labil.

"Ketika sentimen global memburuk, investor asing cenderung menarik dana dari pasar yang dianggap lebih berisiko, dan investor ritel lokal pun ikut panik menjual, menciptakan efek domino yang menekan indeks secara drastis. Kondisi ini kontras dengan pasar lain yang memiliki basis investor institusional domestik yang lebih kuat dan berorientasi jangka panjang, yang mampu berfungsi sebagai penyangga saat terjadi gejolak," papar dia.

Baca Juga: Ribuan Buruh RI Terancam Terkena Gelombang PHK Jilid Dua Gegara Tarif Trump

Selain itu, ketergantungan IHSG pada sektor komoditas (pertambangan, perkebunan) dan perbankan menjadikannya sangat sensitif terhadap siklus ekonomi global dan fluktuasi harga komoditas. Ketika harga komoditas bergejolak, seperti yang terjadi belakangan ini, IHSG menjadi salah satu yang paling terpukul. Negara-negara lain di kawasan, seperti Vietnam dan Singapura, telah menunjukkan kemajuan dalam diversifikasi ekonomi dan pasar modal mereka ke sektor teknologi atau jasa keuangan, mengurangi kerentanan terhadap gejolak komoditas.

Isu likuiditas dan kedalaman pasar juga menjadi sorotan. Apakah pasar modal Indonesia cukup dalam untuk menampung volume penjualan besar tanpa menyebabkan penurunan harga yang drastis? Konsentrasi berlebih pada saham-saham tertentu yang sensitif terhadap isu global juga dapat memperparah situasi. Belum lagi potensi sentimen negatif spesifik domestik terkait kebijakan ekonomi, stabilitas politik, atau isu sektoral tertentu yang mungkin muncul bersamaan dengan tekanan global. Faktor psikologis pasar pasca libur panjang Lebaran juga tidak bisa diabaikan, di mana pelaku pasar mungkin kembali dengan tingkat kewaspadaan yang lebih tinggi.

Kelambanan otoritas keuangan dalam memperkuat ketahanan pasar menjadi sorotan tajam. Bank Indonesia (BI) dan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dinilai lebih sering reaktif daripada preventif. Padahal, sinyal-sinyal tekanan sudah terlihat sejak awal tahun 2025, seperti berkurangnya aliran modal asing, fluktuasi nilai tukar rupiah, dan pelebaran defisit transaksi berjalan. Namun, kebijakan sistematis untuk membendung risiko ini dinilai minim.

Koordinasi antar lembaga dalam Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK), yang seharusnya menjadi garda terdepan dalam menjaga stabilitas makroekonomi dan sistem keuangan, juga dipertanyakan efektivitasnya. Kejatuhan IHSG dan nilai tukar rupiah pada awal pekan ini menimbulkan kesan bahwa koordinasi yang selama ini digaungkan hanyalah retorika belaka.

Mekanisme trading halt dan circuit breaker memang merupakan instrumen standar untuk meredam volatilitas ekstrem. Namun, keberadaannya lebih bersifat responsif, sebagai rem darurat. Pertanyaan mendasarnya adalah: sejauh mana otoritas proaktif dalam mengantisipasi dan membangun ketahanan pasar sebelum krisis datang?

Muncul kritik bahwa otoritas terkesan "malas" atau kurang memiliki langkah antisipatif yang fundamental. Apakah stress test yang dilakukan sudah cukup komprehensif untuk memodelkan skenario guncangan eksternal dan dampaknya pada perilaku investor domestik? Apakah upaya pendalaman pasar melalui diversifikasi produk, penguatan basis investor institusional domestik, dan peningkatan literasi keuangan bagi investor ritel sudah berjalan efektif? Bagaimana pengawasan terhadap potensi praktik insider trading atau manipulasi pasar yang bisa memperburuk kepanikan?

Perbandingan dengan pasar ASEAN lain memberikan pelajaran berharga. Filipina berhasil mengurangi ketergantungan pada modal asing dengan memperkuat partisipasi dana pensiun domestik. Vietnam agresif menarik investasi langsung (FDI) di sektor manufaktur berteknologi tinggi, membuat pasarnya kurang volatil. Sementara itu, otoritas keuangan Indonesia dinilai masih berkutat pada isu klasik koordinasi yang kurang optimal. Kebijakan yang jelas, konsisten, dan komunikasi yang transparan dari otoritas sangat penting untuk membangun kepercayaan pasar. Sebaliknya, kebijakan yang ambigu atau respons yang lambat dapat mengikis kepercayaan dan membuat pasar semakin rentan.

Peristiwa pahit di pasar modal hari ini harus menjadi peringatan keras. Mengandalkan circuit breaker saja tidak cukup. Perlu ada evaluasi menyeluruh terhadap akar kerentanan pasar modal Indonesia. "Upaya pendalaman pasar harus digenjot lebih serius. Mendorong pertumbuhan reksa dana domestik, dana pensiun, dan asuransi sebagai investor institusional jangka panjang adalah kunci. Edukasi dan literasi keuangan bagi investor ritel perlu ditingkatkan," katanya.

Dari sisi regulator, peningkatan pengawasan pasar dengan memanfaatkan teknologi (RegTech/SupTech) menjadi keharusan. Penyempurnaan aturan main, penegakan hukum yang tegas, serta peningkatan kualitas GCG emiten perlu menjadi prioritas. Yang tak kalah penting, otoritas perlu lebih gesit dalam membaca dinamika global dan domestik, melakukan asesmen risiko secara berkala, dan menyiapkan langkah mitigasi yang lebih berlapis dan antisipatif.

Krisis ini seharusnya menjadi cermin kegagalan pembelajaran di masa lalu. Menyalahkan faktor eksternal adalah respons yang mudah, namun berbenah diri dari dalam adalah langkah krusial untuk masa depan pasar modal Indonesia yang lebih kuat, stabil, dan kredibel. Sudah saatnya Indonesia berhenti sekadar bereaksi dan mulai membangun fondasi ketahanan yang sesungguhnya, didukung oleh keberanian politik untuk melakukan reformasi yang mendasar. Jika tidak, Indonesia akan terus menjadi "pasien kronis" di tengah gejolak pasar keuangan global.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI