Banyak proyek, kata dia, bergantung pada peralatan impor yang harganya mengikuti kurs dolar.
“Jika dolar terus menguat dan menembus Rp17.000, proyek-proyek bisa mangkrak dan pembayaran ke vendor menjadi kendala besar,” ujarnya.
Heru juga menyebut bahwa angka psikologis Rp17.000 per dolar AS patut diwaspadai, dan jika tak dikendalikan, rupiah bisa menyentuh Rp20.000 per dolar seperti pada krisis ekonomi 1998.
“Pemerintah harus sigap dan menjaga komunikasi publik agar tidak terjadi kepanikan pasar,” kata Heru.
Analis Doo Financial Futures, Lukman Leong, menambahkan bahwa sentimen risk off global turut memperburuk situasi.
“Rupiah tertekan oleh sentimen risk off yang masih kuat di pasar ekuitas dan mata uang emerging. Ditambah lagi pernyataan Menteri Perdagangan AS yang menegaskan bahwa tarif tidak akan ditunda, ini menambah tekanan bagi mata uang negara berkembang,” tuturnya.
Bank Indonesia (BI) diperkirakan akan terus melakukan intervensi guna menjaga stabilitas nilai tukar.
Namun, tekanan global yang berasal dari kebijakan proteksionisme dan perang dagang AS-China masih menjadi risiko utama yang harus dihadapi dalam waktu dekat.
Hingga saat ini, Indonesia tercatat berada di peringkat ke-8 dari daftar negara-negara yang dikenai tarif baru oleh AS.
Baca Juga: Cara Menambahkan Rekening di BRImo untuk Menabung Lebih Disiplin
Selain Indonesia, negara-negara ASEAN lain seperti Malaysia, Thailand, Vietnam, dan Kamboja juga turut terdampak dengan besaran tarif yang bervariasi, bahkan mencapai 49 persen untuk Kamboja.