Suara.com - Nilai tukar rupiah terus menunjukkan tren pelemahan yang mengkhawatirkan, bahkan hampir menyentuh level psikologis Rp17.000 per dolar AS.
Pada pembukaan perdagangan hari ini pasca libur Lebaran, Senin (7/4/2025), rupiah tercatat melemah signifikan sebesar 251 poin (1,51%) menjadi Rp16.904 per dolar AS, dari posisi sebelumnya Rp16.653 per dolar AS. Pengamat pasar uang sekaligus Presiden Direktur PT Doo Financial Futures, Ariston Tjendra, menyatakan bahwa pelemahan ini dipicu oleh respons negatif pasar terhadap kebijakan tarif resiprokal Amerika Serikat (AS) yang diumumkan oleh Presiden Donald Trump.
"Sentimen negatif muncul setelah pengumuman kebijakan tarif Trump, yang kemudian direspons dengan penolakan oleh negara-negara yang terkena dampak kenaikan tarif. Ini menjadi pemicu utama pelemahan rupiah," jelas Ariston dikutip dari ANTARA di Jakarta.
Kekhawatiran Pasar atas Perlambatan Ekonomi Global
Menurut Ariston, pasar keuangan global sedang dilanda kekhawatiran bahwa perang dagang AS dengan sejumlah negara, termasuk Tiongkok dan Uni Eropa, akan memukul pertumbuhan ekonomi dunia. Kebijakan tarif yang saling membalas dapat mengurangi volume perdagangan internasional, sehingga memperlambat aktivitas ekonomi.
"Pasar khawatir ekonomi global tidak akan baik-baik saja karena potensi penurunan akibat perang dagang. Ini mendorong pelaku pasar untuk keluar dari aset berisiko, seperti saham dan mata uang negara berkembang, lalu beralih ke aset safe haven seperti dolar AS, emas, atau obligasi pemerintah AS," ujarnya.
Selain kebijakan Trump, pelemahan rupiah juga dipengaruhi oleh data ekonomi AS yang lebih kuat dari perkiraan, khususnya laporan nonfarm payrolls yang menunjukkan ketahanan pasar tenaga kerja Negeri Paman Sam. Data ini memperkuat ekspektasi bahwa The Fed (Bank Sentral AS) mungkin akan mempertahankan suku bunga tinggi lebih lama, sehingga dolar AS semakin menguat.
Ketegangan Geopolitik Memperburuk Sentimen Pasar
Tidak hanya faktor ekonomi, gejolak geopolitik juga turut menekan rupiah. Ariston menyebutkan bahwa eskalasi konflik di Timur Tengah dan Eropa Timur menambah ketidakpastian pasar.
Baca Juga: Industri Padat Karya RI Terancam Gulung Tikar Usai Kebijakan Tarif Impor 32 Persen Presiden Trump
"Perang di Timur Tengahsemakin memanas dengan serangan Israel yang meningkat, sementara AS juga terlibat dalam serangan terhadap Yaman. Di Ukraina, tensi perang antara Rusia dan Ukraina kembali meninggi dengan serangan balasan di beberapa front," katanya.