Suara.com - Penerapan tarif dagang oleh Presiden Amerika Serikan Donald Trump terhadap beberapa negara mitra dagang telah menimbulkan dampak signifikan terhadap perekonomian global, termasuk Indonesia.
Kebijakan proteksionisme AS ini bertujuan untuk meningkatkan produksi dalam negeri, menciptakan lapangan kerja, serta mendorong pertumbuhan ekonomi AS. Namun, langkah ini juga berpotensi menciptakan ketidakstabilan di pasar global.
"Presiden Trump menerapkan tarif reciprocal terhadap beberapa negara partner dagang, yang dinilai telah melakukan penerapan tarif kepada barang impor dari AS sebelumnya. Kebijakan proteksionisme AS ini ditujukan untuk mendorong produksi dalam negeri, lapangan pekerjaan, dan pertumbuhan ekonomi AS," ujar Direktur Program INDEF, Eisha Maghfiruha Rachbini dalam keterangan tertulis yang dikutip, Kamis (3/4/2025).
Tarif yang dikenakan AS berkisar antara 10 persen hingga 39 persen, dengan Indonesia mendapatkan tarif sebesar 32 persen. Angka ini lebih tinggi dibandingkan beberapa negara Asia lainnya, seperti Malaysia (24 persen), Singapura (10 persen), Jepang (24 persen), dan Filipina (17 persen).
Dampak kebijakan ini sudah mulai terasa di berbagai sektor. Pasar keuangan AS mengalami tekanan dengan penurunan harga saham setidaknya 3 persen. Sementara itu, pasar saham Jepang mencapai titik terendah dalam delapan bulan terakhir, dan pasar saham Korea Selatan juga melemah, terutama di sektor otomotif. Selain itu, harga emas melonjak hingga mencapai rekor di atas USD3.160 per ounce, sementara harga minyak dunia turun lebih dari 3 persen.
"Harga emas meningkat (mencapai rekor tinggi di atas USD3.160/ounce). Harga minyak dunia turun lebih dari 3 persen," kata Eisha
Fluktuasi nilai tukar juga terjadi pasca pemberlakuan tarif. Yen Jepang menguat terhadap dolar AS karena dianggap sebagai aset safe haven di tengah ketidakpastian ekonomi. "Tarif yang diberlakukan AS bisa berpotensi menjadi bumerang bagi Ekonomi AS (inflasi tinggi, harga barang tinggi karena tarif, dapat berdampak pada pasar tenaga kerja AS)," jelas dia.
Dampak bagi Perekonomian Indonesia
Menuru Eisha, Indonesia memiliki ketergantungan yang cukup besar pada ekspor ke AS, dengan pangsa pasar ekspor tahunan sebesar 10,3 persen. "Secara rata-rata tahunan, pangsa pasar ekspor Indonesia ke negara tujuan AS sebesar 10,3 pers, terbesar kedua setelah ekspor Indonesia ke China," imbuh Eisha.
Baca Juga: Trump Beri Tarif Mahal ke 180 Negara, IMF: Ekonomi Asia Berpotensi Resesi
Penerapan tarif ini berpotensi menekan ekspor Indonesia secara signifikan, terutama di sektor tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, serta produk pertanian dan perkebunan seperti minyak kelapa sawit, karet, dan perikanan.
"Penerapan tarif pada produk-produk ekspor Indonesia ke AS akan berdampak secara langsung, tarif tersebut akan berdampak pada penurunan ekspor Indonesia ke AS secara signifikan, seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, serta produk pertanian dan perkebunan, seperti minyak kelapa sawit, karet, perikanan," beber Eisha.
Dia menuturkan, salam teori perdagangan, penerapan tarif ini akan mengarah pada trade diversion, di mana perdagangan beralih dari pasar berbiaya rendah ke pasar berbiaya tinggi. Akibatnya, pelaku ekspor Indonesia menghadapi kenaikan biaya yang signifikan, yang dapat berdampak pada perlambatan produksi dan berkurangnya lapangan pekerjaan di dalam negeri.
Langkah Strategis Pemerintah
Eisha menyarankan, untuk mengatasi dampak negatif dari kebijakan tarif AS, pemerintah perlu segera melakukan langkah-langkah strategis. Beberapa langkah yang dapat diambil antara lain:
Negosiasi Perdagangan - Pemerintah perlu melakukan negosiasi perdagangan dengan AS dengan segera agar dapat meminimalkan (mengurangi) dampak tarif bagi produk ekspor Indonesia ke AS. Kekuatan negosiasi diplomatik menjadi sangat krusial dalam memitigasi dampak dari perang dagang dengan AS."
Diversifikasi Pasar Ekspor – Pemerintah perlu mengoptimalkan perjanjian dagang secara bilateral dan multilateral, CEPA, serta inisiasi perjanjian kerja sama dengan negara non-tradisional untuk mendorong ekspor produk terdampak, seperti tekstil, alas kaki, elektronik, furnitur, serta produk pertanian dan perkebunan, seperti minyak kelapa sawit, karet, perikanan. Sehingga, pelaku ekspor dan industri terdampak dapat mengalihkan pasar ekspor.
Insentif dan Stimulus – Pemerintah perlu memberikan kebijakan insentif keuangan, subsidi, dan keringanan pajak dapat membantu bisnis mengatasi peningkatan biaya dan pengurangan permintaan akibat dampak tarif dan perang dagang AS.
Investasi dalam Teknologi dan SDM – Selain itu, investasi dalam kemajuan teknologi dan inovasi, peningkatan keterampilan tenaga kerja juga diperlukan untuk meningkatkan daya saing produk Indonesia di pasar global, sebagai upaya dalam jangka panjang.
Selain itu, Bank Indonesia juga perlu terus melakukan intervensi di pasar keuangan untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah agar tidak semakin tertekan. Dengan kebijakan yang tepat dan langkah antisipatif, Indonesia dapat mengurangi dampak negatif dari kebijakan proteksionisme AS dan tetap menjaga stabilitas perekonomiannya di tengah ketidakpastian global.