Suara.com - Thailand menderita kerugian sebesar 7 miliar dollar AS hingga 8 miliar dollar AS atau sekitar Rp132 triliun dari potensi tarif AS. Hal ini dikarenakan ekspor semikonduktor Thailand mungkin menghadapi tarif sebesar 25 persen dari Amerika Serikat.
“Thailand memungut tarif sekitar 11 persen lebih tinggi daripada AS di bidang pertanian dan industri, jadi jika kita dikenai tarif 11 persen lebih tinggi, kita dapat mengalami kerugian sekitar 7 miliar hingga 8 miliar dollar AS," kata pejabat tinggi kementerian perdagangan Vuttikrai Leewirapha dilansir South China Morning Post, Rabu (2/3/2025).
Thailand ingin menghindari tarif AS dan telah mengatakan akan mencoba meningkatkan impor jagung, kedelai, minyak mentah, dan etana untuk mempersempit surplus perdagangannya dengan AS. Ekspor merupakan pendorong utama bagi ekonomi terbesar kedua di Asia Tenggara.
Sementara, Dana Moneter Internasional (IMF) menyoroti kebijakan tarif dari Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Pihaknya menilai bahwa tarif besar-besaran bisa menciptakan ketidakpastian dan menekan kepercayaan pasar, tetapi tidak mungkin memicu resesi dalam waktu dekat di 2025.
Direktur Pelaksana Dana Moneter Internasional (IMF) Kristalina Georgieva mengatakan bahwa pasar tak perlu khawatir secara berlebihan meski ekonomi masih terbilang lambat setelah dampak pandemi COVID-19.
Georgieva mengakui bahwa indikator-indikator ekonomi menunjukkan pelemahan dalam kepercayaan konsumen dan investor, yang dapat berdampak pada prospek pertumbuhan ekonomi. Namun, Ia belum melihat dampak dramatis dari tarif yang telah diterapkan atau diancam akan diterapkan oleh Trump.
Meskipun demikian, pihaknya juga menyoroti bagaimana banyak negara telah menghabiskan ruang fiskal dan moneter mereka selama pandemi COVID-19. Hal ini menjadi sorotan mengingat negara-negara tersebut kini menghadapi utang yang tinggi dan keterbatasan dalam merespons guncangan ekonomi seperti kebijakan tarif.
Georgieva juga menekankan bahwa kejelasan kebijakan tarif sangat diperlukan untuk menjaga stabilitas pasar dan investasi. "Semakin lama ketidakpastian berlangsung, semakin besar risiko negatif terhadap pertumbuhan ekonomi," katanya.
Georgieva mencatat bahwa perdagangan global masih tumbuh, terutama dalam sektor jasa meskipun globalisasi menghadapi tantangan akibat meningkatnya proteksionisme dari sejumlah negara. Banyak negara kecil dan menengah mulai meningkatkan kerja sama serta berfokus pada reformasi struktural domestik untuk meningkatkan ketahanan ekonomi mereka.
Baca Juga: Hore! Tarif Listrik Nonsubsidi Tidak Naik Selama April-Juni
Presiden Amerika Serikat Donald Trump dijadwalkan mengumumkan serangkaian tarif besar-besaran yang disebut sebagai "Liberation Day" atau "Hari Pembebasan" pada Rabu (2/4/2025). Namun, hingga saat-saat terakhir, dunia masih menunggu kepastian tentang cakupan kebijakan tersebut yang berpotensi memicu perang dagang global.