Suara.com - Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah mengeluarkan kebijakan penghapusan sanksi administratif bagi Wajib Pajak orang pribadi yang terlambat membayar Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 29 dan/atau menyampaikan Surat Pemberitahuan (SPT) Tahunan PPh untuk tahun pajak 2024.
Kebijakan ini tertuang dalam Keputusan Dirjen Pajak Nomor KEP-79/PJ/2025 yang ditandatangani pada 25 Maret 2025. Pemberian relaksasi ini berlaku hingga 11 April 2025, di mana DJP tidak akan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan kebijakan ini.
Latar Belakang Kebijakan Relaksasi
Kebijakan ini dilandasi oleh periode libur nasional dan cuti bersama yang cukup panjang pada akhir Maret hingga awal April 2025, yaitu mulai 28 Maret hingga 7 April 2025, yang bertepatan dengan perayaan Nyepi dan Lebaran.
Kondisi ini berpotensi mengganggu proses administrasi perpajakan, termasuk pembayaran PPh Pasal 29 dan pelaporan SPT Tahunan. Selain itu, jumlah hari kerja di bulan Maret 2025 menjadi lebih sedikit, sehingga dikhawatirkan banyak Wajib Pajak yang tidak dapat memenuhi tenggat waktu yang ditetapkan.
Berdasarkan Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (UU KUP), batas akhir penyampaian SPT Tahunan untuk Wajib Pajak orang pribadi adalah paling lambat 3 bulan setelah berakhirnya tahun pajak, atau 31 Maret 2025. Jika terlambat, Wajib Pajak biasanya dikenai sanksi administrasi berupa denda Rp100.000. Namun, dengan adanya kebijakan relaksasi ini, DJP memberikan kelonggaran waktu hingga 11 April 2025 tanpa dikenai sanksi.
Mekanisme Penghapusan Sanksi Administratif
Dalam situasi normal, jika Wajib Pajak terlambat membayar PPh Pasal 29 atau melaporkan SPT Tahunan, Kantor Pelayanan Pajak (KPP) akan menerbitkan Surat Tagihan Pajak (STP) sebagai bentuk penagihan resmi atas kekurangan pembayaran pajak beserta sanksi administrasi (bunga atau denda). Namun, dalam KEP-79/PJ/2025, DJP secara tegas menyatakan bahwa tidak akan menerbitkan STP bagi Wajib Pajak yang memanfaatkan masa relaksasi ini.
PPh Pasal 29 sendiri merupakan kekurangan pembayaran pajak yang terjadi ketika jumlah PPh yang terutang dalam suatu tahun pajak lebih besar daripada total kredit pajak yang telah dibayar sebelumnya (seperti melalui pemotongan PPh Pasal 21, 22, 23, atau 25). Kekurangan ini harus dilunasi sebelum atau bersamaan dengan penyampaian SPT Tahunan. Jika tidak, Wajib Pajak biasanya akan dikenai sanksi berupa bunga.
Baca Juga: Pajak Indonesia Terburuk: Bank Dunia Sebut Negara Kehilangan Hampir Rp1 Kuadriliun
Dampak Positif bagi Wajib Pajak
Kebijakan ini memberikan beberapa manfaat bagi Wajib Pajak, antara lain:
- Mengurangi Beban Administratif – Wajib Pajak tidak perlu khawatir terkena denda meskipun terlambat melaporkan SPT atau membayar PPh Pasal 29 dalam periode yang ditentukan.
- Memperhatikan Kondisi Nyata Masyarakat – DJP menyadari bahwa libur panjang dapat menghambat proses pelaporan pajak, sehingga kebijakan ini bersifat pro-rakyat.
- Mencegah Penumpukan STP – Dengan tidak diterbitkannya STP, sistem administrasi perpajakan juga menjadi lebih efisien karena mengurangi beban kerja KPP dalam hal penagihan.
Hal yang Perlu Diperhatikan Wajib Pajak
Meskipun terdapat relaksasi, Wajib Pajak tetap harus memenuhi kewajiban perpajakan mereka selambat-lambatnya 11 April 2025. Jika melewati tanggal tersebut, sanksi administrasi tetap akan diberlakukan sesuai ketentuan yang berlaku. Oleh karena itu, disarankan untuk segera menyelesaikan pembayaran dan pelaporan pajak sebelum batas waktu yang diberikan.
Kebijakan relaksasi yang dikeluarkan DJP ini merupakan bentuk fleksibilitas fiskal yang memperhatikan kondisi riil masyarakat. Dengan memberikan kelonggaran waktu, diharapkan kepatuhan pajak dapat tetap terjaga tanpa memberatkan Wajib Pajak. Bagi yang belum melaporkan SPT Tahunan 2024 atau membayar PPh Pasal 29, segeran manfaatkan kesempatan ini sebelum 11 April 2025 untuk menghindari risiko sanksi di kemudian hari.
Dengan demikian, DJP kembali menunjukkan komitmennya dalam meningkatkan pelayanan perpajakan yang lebih adaptif dan manusiawi, sekaligus mendorong kesadaran masyarakat untuk taat pajak tanpa tekanan yang berlebihan.