Selain itu, dalam analisisnya, Bank Dunia mengungkapkan bahwa rasio pajak terhadap PDB Indonesia masih tergolong rendah dibandingkan negara berkembang lainnya. Rendahnya rasio ini menunjukkan bahwa pemerintah belum mampu memaksimalkan potensi penerimaan pajak. Salah satu faktor utamanya adalah tingkat kepatuhan pajak yang rendah di kalangan wajib pajak, terutama dari pelaku usaha besar dan individu berpenghasilan tinggi.
Salah satu kritik utama dalam laporan Bank Dunia adalah kebijakan perpajakan yang masih bias terhadap kelompok tertentu. Beberapa insentif pajak untuk korporasi besar sering kali tidak berkontribusi langsung pada pertumbuhan ekonomi yang merata. Sebaliknya, beban pajak lebih banyak ditanggung oleh masyarakat berpenghasilan menengah ke bawah, terutama melalui pajak konsumsi seperti PPN.
Bank Dunia juga menyoroti perbedaan perlakuan pajak antar sektor ekonomi. Sektor informal, yang menyerap banyak tenaga kerja, masih belum terjangkau sistem perpajakan dengan baik, sementara sektor formal justru dibebani tarif pajak yang lebih tinggi.
Secara keseluruhan, kondisi ini diperkirakan menyebabkan Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp 944 triliun selama 2016–2021. Kerugian ini mencakup hilangnya pendapatan akibat ketidakpatuhan (compliance gap) dalam PPN dan PPh Badan, serta kebijakan fiskal yang dipilih pemerintah (policy gap).
"Perkiraan kesenjangan PPN dan PPh Badan tersebut, rata-rata, mencapai 6,4% dari PDB atau Rp 944 triliun antara 2016 dan 2021," lapor Bank Dunia.
Secara rinci, Indonesia diperkirakan kehilangan Rp 387 triliun dan Rp 161 triliun akibat ketidakpatuhan dalam PPN dan PPh Badan. Sementara itu, Rp 138 triliun dan Rp 258 triliun lainnya hilang karena kebijakan perpajakan yang ditetapkan pemerintah.