Suara.com - Keputusan Amerika Serikat (AS) keluar dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) menjadi pembicaraan publik, diikuti oleh beberapa negara yang mengikuti jejak AS untuk melepas afiliasinya dari WHO. Keluarnya AS sebagai pemberi dana terbesar menimbulkan berbagai pertanyaan baru terkait kebijakan yang dibentuk melalui WHO, salah satunya Framework Convention on Tobacco Control (FCTC).
Aturan global tersebut telah menjadi landasan dari wacana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek yang diinisiasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Permenkes) di Indonesia. Dengan adanya keputusan berbagai negara keluar dari WHO, muncul spekulasi dan pertanyaan mengenai kredibilitas kebijakan WHO untuk tetap dijalankan di negara-negara lain.
Guru Besar Hukum Internasional Universitas Indonesia (UI), Prof. Hikmahanto Juwana mengatakan, FCTC berprinsip untuk mengatur negara produsen tembakau di seluruh dunia agar tunduk terhadap batasan-batasan penggunaan tembakau. Akan tetapi, perjanjian FCTC ini diinisiasi oleh negara-negara non-produsen tembakau yang disinyalir menunggangi isu kesehatan untuk mematikan industri strategis di negara seperti di Indonesia.
![Pekerja melinting tembakau di Aceh Besar. [Dok.Antara]](https://media.suara.com/pictures/653x366/2024/07/13/94767-pekerja-tembakau.jpg)
"Bila dicermati, intervensi saat ini dilakukan melalui perjanjian internasional yang apabila sudah ikut, maka negara tersebut memiliki kewajiban untuk mentransformasikan ikatan perjanjian internasional ke dalam hukum nasional," ujarnya di Jakarta, seperti dikutip Kamis (27/3/2025).
Hikmahanto menilai bahwa, FCTC seharusnya menjadi tidak relevan lagi setelah keluarnya AS dari WHO. Ini menunjukkan bahwa WHO tidak seharusnya menjadi otoritas tertinggi bagi negara-negara yang tergabung untuk menjalankan kebijakannya. Dalam hal ini, AS telah mengambil keputusan yang tepat untuk menjaga kedaulatan negaranya.
Terkait penerapan aturan di Indonesia yang mengadopsi FCTC, Hikmahanto menjelaskan bahwa pemerintah perlu berhati-hati. Indonesia adalah produsen tembakau dengan mata rantai yang besar, di mana industri tembakau menyerap tenaga kerja dalam jumlah signifikan dan berkontribusi besar terhadap pertumbuhan ekonomi nasional.
Selain itu, demi menjaga kedaulatan negara seperti halnya AS, pemerintah harus secara tegas menegakkan kedaulatan dari ancaman intervensi asing, sejalan dengan Asta Cita Presiden Prabowo Subianto.
"Pemerintah harus hati-hati dalam menerapkan FCTC di Indonesia, terutama karena negara ini tidak meratifikasi aturan global tersebut. Pemerintah juga harus mempertimbangkan kondisi nasional sehingga kebijakan ini menjadi tidak tepat bila diterapkan. Di sinilah pemerintah harus memiliki kebebasan dan kedaulatan negara harus ditegakkan," imbuh dia.
Rancangan Permenkes pun bisa menjadi ancaman nyata untuk keberlangsungan sektor tembakau, salah satu sektor padat karya yang menjadi perhatian Presiden Prabowo Subianto. Dalam rapat terbatas bersama menteri-menteri Kabinet Merah Putih di Hambalang, Kabupaten Bogor, Presiden Prabowo meminta untuk menganalisa proyek-proyek yang menciptakan lapangan pekerjaan, seperti industri padat karya.
Baca Juga: Ekonom Nilai Insentif PPh 21 Jadi Angin Segar Bagi Industri Padat Karya
Penciptaan lapangan kerja menjadi proyek prioritas yang terus didorong oleh pemerintahan Presiden Prabowo. Industri tembakau dan olahannya diketahui telah membuka jutaan lapangan kerja bagi masyarakat. Namun, keberlangsungannya semakin terancam dengan munculnya inisiatif kebijakan yang tidak mendukung sektor tersebut.