Suara.com - Kementerian Keuangan telah menerbitkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 10 Tahun 2025 yang mengatur insentif Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 21 bagi sejumlah golongan pekerja industri padat karya.
Kebijakan ini, yang berlaku mulai Januari 2025, bertujuan untuk meringankan beban pekerja di sektor-sektor tertentu seperti tekstil dan pakaian jadi, alas kaki, furnitur, dan kulit. Kalangan akademisi berpendapat bahwa kebijakan tersebut layak dilanjutkan serta diperluas cakupannya demi keberlanjutan industri padat karya.
Ekonom dari UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat, menyambut positif kebijakan insentif PPh 21 yang berlaku per Januari 2025 ini. Ia menilai kebijakan ini tepat diterapkan di tengah badai PHK yang melanda.
Dengan mengurangi beban pajak, daya beli pekerja di sektor padat karya diharapkan dapat meningkat, yang pada akhirnya berdampak positif pada pertumbuhan ekonomi.
"Intinya pengurangan yang meringankan beban kelas pekerja. Ini kan rata-rata mereka ini kategorinya gajinya UMR. Menurut saya itu ide yang sangat brilian," ujarnya di Jakarta seperti dikutip, Selasa (25/3/2025).
Achmad menuturkan bahwa kebijakan insentif PPh 21 tidak hanya mengurangi beban pekerja, tetapi juga membantu pengusaha. Hal ini terutama berpengaruh pada perusahaan yang selama ini menanggung pembayaran PPh 21 karyawannya. Dengan berkurangnya kewajiban membayar PPh 21, perusahaan memiliki peluang lebih besar untuk menambah tenaga kerja.
Sementara itu, ekonom Universitas Indonesia, Vid Adrison, mengungkapkan bahwa keringanan pajak dapat meningkatkan daya beli masyarakat. "Dengan adanya keringanan pajak, orang akan memiliki lebih banyak uang untuk dibelanjakan," beber dia.
Hal ini juga dapat berdampak positif terhadap perputaran perekonomian baik di skala nasional maupun lokal.
Vid juga menekankan pentingnya kebijakan insentif pajak yang inklusif. Ia menyarankan agar kebijakan pembebasan PPh 21 berlaku untuk pekerja di berbagai sektor yang berada di bawah batas penghasilan tertentu. "Selama mereka berada dalam sistem perpajakan atau memiliki NPWP, dan penghasilannya di bawah batas tertentu, mereka akan mendapatkan keringanan," imbuh dia.
Baca Juga: Kelola Aset Ratusan Triliun, Setoran PPKGBK ke Negara Kecil, DPR Pertanyakan Direksi
Vid menilai kebijakan ini muncul sebagai respons terhadap penurunan aktivitas di sektor-sektor padat karya. "Kemungkinan besar, penurunan aktivitas di sektor tersebut menyebabkan adanya keringanan pajak," tambahnya.