Suara.com - Isu Negara Dikendalikan Militer Lewat UU TNI Bikin Pekerja Indonesia di Luar Negeri Kena PHK
Dampak dari pengesahan RUU TNI yang memungkinkan militer menduduki sejumlah jabatan sipil dirasakan oleh kalangan pekerja. Seorang pengguna Twitter atau X berkicau bahwa dirinya baru saja terkena PHK dari sebuah perusahaan asing imbas dari pengesahan RUU tersebut.
Kisah ini semakin menegaskan ancaman pekerja Indonesia tetap dapat terkena PHK dari perusahaan luar negeri sebagai dampak jika negara dikendalikan militer.
“TS dan satu temen yg org Indonesia dipecat dari kerjaan remote nya karena kantor gamau ambil risiko punya karyawan dr negara yg dikendalikan militer. Udh coba banding, blg Indonesia bkn negara konflik, tp ttp dipecat. Kantornya update dgn isu RUU TNI dari kemaren2,” demikian seperti dikutip dari akun @intinyadeh.
Lebih lanjut, dia dan satu teman dari Indonesia yang kemungkinan juga bakal dipecat menyebut perusahaan merasa terlalu riskan jika mempekerjakan karyawan dari negara yang berpotensi dikendalikan oleh militer.
Padahal, karyawan tersebut telah menyatakan bahwa Indonesia bukan negara konflik, seperti kualifikasi yang diminta oleh perusahaan. Namun, kantor menyatakan regulasi baru akan memperbesar kemungkinan konflik di masa depan.
Meskipun mendapatkan pesangon sebagai hak karyawan, dia mengaku nyesek karena kena getah dari kebijakan pemerintah. Terlebih, perusahaan telah mengikuti isu kembalinya dwifungsi Abri yang kemungkinan bakal terjadi di Indonesia sejak jauh – jauh hari sehingga keputusan memberhentikan karyawan bisa dengan cepat diambil.
Netizen pun bereaksi terhadap cerita PHK akibat disahkannya RUU TNI tersebut. “Pemerintah gk bisa nyediain lapker, yg udah dapat kerjaan dg usaha mandiri malah diberhentikan krn pemerintah,” ujar salah satu pengguna Twitter. Kekhawatiran publik mengenai imbas pengesahan RUU TNI pada kehidupan mereka membuat peraturan ini layak diprotes.
Sebelum disahkan sebagai UU, RUU TNI telah menuai banyak protes dari beragam kalangan. Aksi di Gedung DPR digelar oleh masyarakat sipil untuk menolak RUU yang bakal mengembalikan dwifungsi ABRI seperti zaman Orde Baru.
Baca Juga: Represif ke Demonstran Tolak RUU TNI, Komisi III: Aparat Jangan Asal Main Pukul Mahasiswa Berdemo!
Dengan revisi UU TNI nantinya angkatan bersenjata bisa memiliki peran ganda: memegang senjata sekaligus mengisi jabatan sipil. Hal ini ditakutkan bakal menjadi ancaman kebebasan berpendapat untuk warga, termasuk kebebasan dalam menentukan pekerjaan atau naik jabatan karena posisi - posisi tertentu dipegang oleh prajurit.
Melansir Hukumonline, Direktur Eksekutif Pusat Studi Hukum dan Kebijakan Indonesia (PSHK), Rizky Argama menilai secara umum revisi UU TNI sudah keluar dari cita-cita reformasi, ketentuan konstitusi, dan prosedur legislasi.
RUU TNI tidak sah sebagai RUU prioritas dalam Prolegnas 2025. RUU TNI disahkan rapat paripurna DPR 18 Februari 2025 sebagai RUU Prolegnas 2025. Perubahan agenda atau acara rapat tersebut tidak dilakukan melalui mekanisme sesuai Pasal 290 ayat (2) Peraturan DPR Nomor 1 Tahun 2020 tentang Tata Tertib DPR (Tatib DPR), yaitu perubahan acara rapat perlu diajukan secara tertulis dua hari sebelum acara rapat dilaksanakan.
Kemudian, RUU TNI diputuskan masuk dalam Prolegnas 2025 tanpa ada pertimbangan dari Badan Legislasi (Baleg) DPR. Pertimbangan tersebut akan menilai apakah RUU layak masuk dalam prolegnas perubahan. Dalam hal ini seharusnya Baleg menilai urgensi revisi RUU TNI dibandingkan RUU lain yang sejak awal masuk dalam program prioritas.
Pembahasan RUU TNI menjadi UU juga tidak transparan, berdampak terhadap mampetnya ruang partisipasi publik. Draf RUU TNI tidak pernah disebarluaskan secara resmi oleh DPR.
Dampaknya, masyarakat tidak dapat berpartisipasi secara bermakna. Hal itu diperburuk oleh komunikasi DPR yang sempat menyudutkan masyarakat yang kritis dengan menyebutkan bahwa draf yang digunakan tidak sama dengan draf yang sedang dibahas.
Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni