Karena, bilang dia, rokok adalah produk fast moving yang menjadi daya tarik orang datang ke pasar. Jika aturan ini diterapkan, dampaknya akan besar bahkan Suhendro menyebut pedagang bisa meradang dan melakukan demo.
Ia pun mengkritik pemerintah yang dinilai terlalu meniru kebijakan luar negeri tanpa mempertimbangkan kondisi sosial dan ekonomi di Indonesia. Kebijakan ini dinilai terkesan mengada-ada dan tidak menyentuh esensi permasalahan. "Pemerintah seharusnya fokus pada edukasi, bukan membatasi penjualan rokok yang justru merugikan pedagang,"beber Suhendro.
Menanggapi upaya pemerintah dalam menekan prevalensi perokok di bawah umur, Suhendro menyarankan agar pemerintah lebih fokus pada edukasi menyeluruh seperti pemasangan stiker larangan penjualan rokok di bawah umur 21. Karena menurutnya, faktor paling penting dalam menekan prevalensi adalah edukasi, terutama untuk generasi muda.
Suhendro berharap, pemerintah dapat mempertimbangkan kembali kebijakan penyeragaman kemasan rokok dan aturan zonasi yang dinilai merugikan pedagang. "Kami meminta pemerintah untuk lebih bijak dalam mengambil kebijakan. Jangan sampai kebijakan yang dibuat justru menyulitkan rakyat kecil," imbuh dia.
Rugi Ratusan Triliun
Kepala Pusat Industri, Perdagangan dan Investasi di Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Andry Satrio Nugroho mengatakan, bahwa berdasarkan hasil kajian INDEF, dampak ekonomi yang hilang atas rencana kebijakan penyeragaman kemasan rokok polos tanpa identitas merek dapat mencapai Rp308 triliun.
Menurut Andry, rencana aturan tersebut juga akan meningkatkan peredaran rokok ilegal di masyarakat. Tanpa merek dan indetitas yang jelas, produk ilegal akan lebih mudah menyerupai produk legal di pasaran.
"Produsen rokok ilegal tidak perlu lagi repot memikirkan desain kemasan yang kompleks. Dengan aturan kemasan tanpa identitas merek, mereka bisa langsung memasukkan produknya ke pasar, dan pemerintah akan kesulitan dalam pengawasan serta identifikasi produk," ujarnya dalam diskusi media bertajuk “Mengejar Pertumbuhan Ekonomi 8%: Tantangan Industri Tembakau di Bawah Kebijakan Baru” di Jakarta, yang dikutip Jumat (8/10/2024).
Selain itu, Andry mengungkapkan dari sisi penerimaan negara, ada potensi hilangnya Rp160,6 triliun atau sekitar 7% dari penerimaan pajak jika aturan itu disahkan, dan membuat target penerimaan negara sulit tercapai.
Jika regulasi ini diterapkan, target penerimaan negara sebesar Rp218,7 triliun untuk tahun ini kemungkinan besar tidak akan tercapai.
Baca Juga: Apakah Vape Bisa Hambat Perokok untuk Berhenti Merokok?