Suara.com - Pada Selasa, 18 Maret 2025, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) Bursa Efek Indonesia mengalami penurunan signifikan. Terpantau pada pukul 11.19 WIB tadi, IHSG turun 325 poin atau -5,02% ke level 6.146,91. Di level itu, IHSG turun lebih dari 13% dari level penutupan pada akhir 2024 di posisi 7.079,9. Penurunan tajam ini memicu Bursa Efek Indonesia (BEI) untuk menerapkan trading halt, yaitu penghentian sementara perdagangan saham, pada pukul 11.19 WIB.
Trading halt adalah kebijakan yang diambil oleh BEI untuk menghentikan sementara perdagangan saham ketika IHSG mengalami penurunan yang signifikan. Tujuannya adalah untuk menjaga stabilitas pasar dan memberikan waktu bagi investor untuk mencerna informasi yang mempengaruhi pasar. Menurut peraturan yang berlaku, trading halt diterapkan jika IHSG turun sebesar 5% atau lebih dalam satu sesi perdagangan.
Perbandingan dengan Penurunan IHSG Sebelumnya
1. Krisis Keuangan Asia 1998
Pada 8 Januari 1998, IHSG mencatat penurunan harian terdalam sepanjang sejarah, jatuh hampir 12% dalam sehari ke level 347. Kejatuhan ini terjadi di tengah krisis keuangan Asia yang melumpuhkan ekonomi Indonesia, ditandai dengan anjloknya nilai rupiah dan kolapsnya sektor perbankan.
2. Pandemi COVID-19 pada 2020
Pada 9 Maret 2020, IHSG terjun bebas 6,58% ke level 5.136,81, yang menjadi awal dari tujuh kali trading halt dalam beberapa pekan berikutnya. Pada 24 Maret 2020, IHSG mencapai titik terendah di level 3.937, turun 37% dari awal tahun. Hal ini memaksa otoritas bursa untuk mengubah aturan batas bawah penurunan harga saham, dari sebelumnya 25%-35% menjadi 10%, lalu diturunkan lagi ke 7%.
Penurunan IHSG kali ini lebih didorong oleh sentimen ekonomi domestik dan aksi jual besar-besaran investor asing. Defisit Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) meningkat tajam, mencapai 0,13% dari Produk Domestik Bruto (PDB) atau Rp31,2 triliun per Februari 2025, dibandingkan tahun lalu yang masih surplus Rp26,04 triliun. Penerimaan pajak juga turun drastis, dari Rp400,36 triliun pada Februari 2024 menjadi hanya Rp187,8 triliun di bulan yang sama tahun ini.
Kekhawatiran terhadap kondisi fiskal ini mendorong arus modal keluar (capital outflow) secara besar-besaran. Hingga 17 Maret 2025, investor asing mencatatkan aksi jual bersih (net sell) sebesar Rp26,9 triliun. Sentimen ini terus mendorong aksi jual di IHSG dan akhirnya 'meledak' hari ini, diperparah oleh aksi ambil untung di saham teknologi yang sebelumnya mengalami kenaikan tajam. Tekanan juga terjadi pada saham-saham perbankan besar yang semakin menekan IHSG.
Baca Juga: IHSG Merosot! Dasco: Ekonomi Fiskal Indonesia Kuat, Sri Mulyani Tak Akan Mundur
Penurunan IHSG juga mempengaruhi pasar saham regional dan global. Indeks Strait Times Singapura naik 0,82% (31,6 poin) di level 3.890,96. Sementara itu, Hang Seng Hong Kong naik 2,46% (595 poin) di level 24.740,57. Namun, pasar saham di negara-negara berkembang lainnya menunjukkan volatilitas yang tinggi akibat sentimen negatif dari Indonesia.
Meskipun penurunan IHSG hari ini signifikan, sejumlah analis percaya bahwa pasar akan pulih seiring dengan perbaikan indikator ekonomi makro dan langkah-langkah kebijakan yang diambil oleh pemerintah. Investor diharapkan tetap tenang dan tidak panik dalam menghadapi situasi ini. Diversifikasi portofolio dan investasi jangka panjang masih menjadi strategi yang disarankan untuk menghadapi volatilitas pasar.
Penurunan IHSG pada 18 Maret 2025 menambah daftar episode volatilitas pasar saham Indonesia yang pernah terjadi sebelumnya, seperti krisis keuangan Asia 1998, pandemi COVID-19 pada 2020, dan perang dagang AS-China pada 2019. Faktor domestik, seperti defisit APBN dan penurunan penerimaan pajak, menjadi pemicu utama penurunan kali ini.
Namun, dengan respons yang tepat dari pemerintah dan otoritas terkait, diharapkan pasar saham Indonesia dapat segera pulih dan kembali stabil.