Suara.com - PT Wijaya Karya (Persero) Tbk (WIKA), salah satu perusahaan konstruksi BUMN di Indonesia, mengalami gagal bayar pokok utang dua surat utang berdenominasi rupiah yang jatuh tempo pada 18 Februari 2025 lalu.
WIKA sendiri sudah mendapatkan kesempatan waktu 1 bulan untuk bisa melunasi surat utang sejak jatuh tempo, namun hal tersebut tidak bisa dilakukan perseroan hingga Selasa (18/3/2025).
Kegagalan pembayaran ini menjadi sorotan tajam, mengindikasikan tekanan finansial yang tengah melanda sektor konstruksi nasional, terutama setelah ekspansi infrastruktur besar-besaran dalam satu dekade terakhir.
Menurut laporan dari Bloomberg, kegagalan WIKA dalam memenuhi kewajiban pembayaran ini menjadi bukti nyata dari tantangan keuangan yang dihadapi oleh perusahaan-perusahaan konstruksi di Indonesia.
Laporan dari PT Bank Mega Tbk selaku wali amanat mengungkapkan bahwa dua surat utang yang gagal dibayar tersebut terdiri dari obligasi konvensional dan sukuk mudharabah yang diterbitkan pada tahun 2022. Total nilai pokok kedua surat utang ini mencapai US$61 juta atau setara dengan Rp 1 triliun.
Sekretaris Perusahaan Wijaya Karya, Mahendra Vijaya, menyatakan bahwa perusahaan sedang mengkaji langkah-langkah yang akan diambil terkait dengan jatuh tempo utang ini. "Namun, hingga saat ini, WIKA belum memperoleh persetujuan atas permohonan tersebut dalam rapat pemegang obligasi dan sukuk," ujar Mahendra.
Mahendra menambahkan bahwa perusahaan berencana untuk berkoordinasi dengan wali amanat untuk mengadakan rapat kembali. Selain itu, WIKA juga akan berupaya mendekati kreditur untuk mendapatkan persetujuan mereka terkait dengan restrukturisasi utang.
Kegagalan WIKA dalam membayar utang obligasi dan sukuk ini menimbulkan kekhawatiran tentang kesehatan finansial sektor konstruksi secara keseluruhan. Ekspansi infrastruktur yang agresif dalam beberapa tahun terakhir telah membebani neraca keuangan banyak perusahaan konstruksi, termasuk WIKA.
Analis keuangan memperingatkan bahwa kegagalan pembayaran utang oleh perusahaan sebesar WIKA dapat memicu efek domino, mempengaruhi kepercayaan investor dan kreditor terhadap sektor konstruksi Indonesia. Hal ini dapat berdampak pada kemampuan perusahaan-perusahaan lain untuk mendapatkan pendanaan dan melanjutkan proyek-proyek infrastruktur yang sedang berjalan.
Baca Juga: Meroket Naik, Masyarakat RI Terbebani Utang Tembus Rp 6.968 Triliun
Selain itu, kegagalan ini juga dapat mempengaruhi stabilitas ekonomi nasional. Sektor konstruksi merupakan salah satu pilar penting dalam perekonomian Indonesia, dan gangguan dalam sektor ini dapat berdampak pada pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
Menghadapi situasi ini, WIKA berupaya untuk mengambil langkah-langkah strategis untuk mengatasi masalah keuangan yang dihadapi. Perusahaan berencana untuk melakukan restrukturisasi utang dengan berkoordinasi dengan wali amanat dan mendekati kreditur untuk mendapatkan persetujuan.
Selain itu, WIKA juga akan fokus pada peningkatan efisiensi operasional dan pengelolaan proyek untuk memperbaiki arus kas perusahaan. Perusahaan juga akan berupaya untuk mendapatkan proyek-proyek baru yang menguntungkan untuk meningkatkan pendapatan.
Berdasarkan laporan keuangan WIKA hingga kuartal III 2024 tercatat mengantongi pendapatan bersih Rp 12,54 triliun per kuartal III 2024. Raihan ini turun 16,78% dari Rp 15,07 triliun pada kuartal III 2023.
Secara rinci, segmen infrastruktur dan gedung menyumbang paling besar ke pendapatan, yaitu Rp 6,01 triliun. Lalu, segmen industri menyumbang Rp 3,52 triliun, segmen energi dan industrial plant Rp 2,08 triliun, segmen hotel Rp 703,05 miliar, segmen realty dan properti Rp 117,15 miliar, dan segmen investasi Rp 103,20 miliar.
Beban pokok pendapatan turun ke Rp 11,48 triliun di akhir September 2024, dari sebelumnya Rp 13,86 triliun pada periode sama tahun lalu. Alhasil, laba kotor tercatat Rp 1,06 triliun di akhir kuartal III 2024, turun 12,7% secara tahunan alias year on year (yoy) dari Rp 1,21 triliun.
Sementara jumlah liabilitas atau utang WIKA sebesar Rp 50,72 triliun di akhir September 2024, turun dari Rp 56,40 triliun di akhir Desember 2023. Sementara, total ekuitas tercatat Rp 16,26 triliun di kuartal III 2024, naik dari Rp 9,57 triliun di akhir tahun 2023.