Opsi berikutnya yaitu menggali potensi ekonomi digital. Fajry berpendapat ekonomi digital di Indonesia memiliki skala yang lebih besar dibandingkan dengan negara ASEAN lainnya. Maka, pemerintah perlu mengevaluasi penerimaan pajak dari sektor digital, khususnya lokapasar.
“Apakah mereka sudah patuh? Pemerintah perlu optimalisasi penerimaan dari sektor ini mengingat sektor ini akan terus tumbuh tinggi,” ujar dia lagi.
Opsi terakhir yang ia sarankan adalah mengoptimalkan serapan pajak dari kelompok super kaya.
Pemerintah bisa mengenakan pajak minimum bagi kelompok super kaya. Dengan pajak minimum ini, orang super kaya yang patuh tidak akan kena pajak tambahan. Sedangkan mereka yang belum patuh akan dikenakan pajak tambahan.
Sebelumnya, Kabar kurang sedap datang dari sektor penerimaan negara. Kementerian Keuangan (Kemenkeu) melaporkan bahwa realisasi penerimaan pajak pada Januari 2025 hanya mencapai Rp 88,89 triliun.
Angka ini bagaikan tamparan keras, merosot tajam hingga 41,86 persen dibandingkan periode yang sama tahun lalu yang mencapai Rp 152,89 triliun.
"Realisasi penerimaan pajak Januari 2025 tercatat Rp 88,89 triliun atau 4,06 persen dari target, lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya," ungkap Kemenkeu dalam Laporan APBN Kita Edisi Februari 2025.
Rinciannya, penerimaan Pajak Penghasilan (PPh) non migas tercatat sebesar Rp 57,78 triliun atau 5,04 persen dari target. Sementara itu, Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dan Pajak Penjualan atas Barang Mewah (PPnBM) hanya menyumbang Rp 24,62 triliun atau 2,60 persen dari target.
Sektor minyak dan gas (migas) juga tak luput dari penurunan, dengan PPh migas hanya mencapai Rp 4,27 triliun atau 6,79 persen dari target.
Baca Juga: Data 'Surga' Industri Tekstil versi Sri Mulyani Diragukan, Pengusaha: Ambruk Semua Bu!
Kinerja penerimaan dari ketiga kelompok pajak utama tersebut mengalami perlambatan yang signifikan dibandingkan tahun sebelumnya.