Suara.com - Gelombang penolakan terhadap revisi UU TNI dan Polri semakin kuat. Hal ini ditandai dengan adanya kritik yang datang dari berbagai pihak, termasuk legislator dan NGO. Lantas, apa saja isi RUU TNI-Polri yang kontroversial?
Pada Senin (3/3/2025), Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menyambangi Komisi I dan III DPR RI guna memberikan surat terbuka yang menyatakan bahwa mereka menolak RUU ini.
KontraS menilai bahwa perubahan yang diusulkan dalam RUU ini tidak menjawab permasalahan mendasar dalam institusi TNI dan Polri, terutama dalam aspek kultural dan kewenangan institusi.
Di sisi lain, revisi UU TNI juga menuai kritik terkait aturan yang memungkinkan prajurit aktif menduduki jabatan sipil di kementerian dan lembaga negara. Banyak pihak menganggap kebijakan ini dapat membuka kembali ruang bagi dwifungsi ABRI yang pernah diterapkan pada masa Orde Baru.
Baca Juga: Bahaya di Balik Babinsa Jadi 'Sales' Beras Bulog: Dwifungsi TNI atau Solusi Swasembada?
Selain itu, usulan perpanjangan batas usia pensiun bagi prajurit aktif juga menimbulkan polemik. Berikut adalah ulasan selengkapnya terkait isi RUU TNI-Polri yang kontroversial.
Revisi UU TNI Masuk Prolegnas Prioritas 2025
Pada Februari 2025, DPR RI menerima Surat Presiden (Surpres) yang menunjuk perwakilan pemerintah untuk membahas revisi UU TNI. Dalam Rapat Paripurna yang digelar di Gedung Nusantara II, DPR RI, revisi UU TNI resmi masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) Prioritas 2025.
Mengutip dari ANTARA, Wakil Ketua DPR RI, Adies Kadir, menyatakan bahwa pembahasan revisi UU ini telah mendapat persetujuan dari seluruh anggota DPR.
Namun, terkait dengan revisi UU Polri, DPR RI belum menerima Surpres dari pemerintah. Hal ini dikonfirmasi oleh Adies Kadir yang menegaskan bahwa pihaknya baru menerima Surpres revisi UU TNI dan belum ada pembahasan resmi mengenai revisi UU Polri.
Baca Juga: Pakar Usulkan Piramida Promosi Jabatan dalam Revisi UU TNI, Ini Tujuannya
Isi Pasal Kontroversial dalam Revisi UU TNI-Polri
Dalam revisi UU TNI-Polri, terdapat beberapa pasal yang menjadi sorotan utama, yaitu:
1. Perpanjangan Batas Usia Pensiun
Rancangan revisi Undang-Undang TNI Nomor 34 Tahun 2004 mencakup perpanjangan usia pensiun bagi prajurit TNI, di mana perwira dapat pensiun pada usia 60 tahun, sementara bintara dan tamtama pada usia 58 tahun.
Berdasarkan draf yang diterima, perubahan tersebut tercantum dalam Pasal 53. Pada Pasal 53 Ayat (1) dalam RUU TNI, usia pensiun yang sebelumnya ditetapkan 58 tahun bagi perwira serta 53 tahun bagi bintara dan tamtama mengalami peningkatan menjadi masing-masing 60 tahun dan 58 tahun.
Sementara itu, Pasal 53 Ayat (2) mengatur bahwa bagi prajurit yang menduduki jabatan fungsional, masa dinas dapat diperpanjang hingga usia maksimal 65 tahun.
2. Prajurit Aktif Bisa Menjabat di Kementerian
Poin lain yang menuai kritik dalam revisi UU TNI adalah pemberian izin bagi prajurit aktif untuk menduduki jabatan di kementerian dan lembaga negara. Hal ini tertuang dalam Pasal 47 Ayat (2), yang memungkinkan prajurit aktif mengisi posisi di bidang pertahanan, intelijen, keamanan nasional, serta lembaga lain yang membutuhkan keahlian mereka sesuai kebijakan Presiden.
Meski bertujuan memperkuat sinergi antara militer dan pemerintahan, aturan ini dikhawatirkan dapat menghidupkan kembali dwifungsi ABRI seperti pada masa Orde Baru.
Dalam ketentuannya, prajurit yang ditempatkan di lembaga negara akan berdasarkan permintaan pimpinan kementerian atau lembaga tersebut dan harus mengikuti aturan administrasi yang berlaku di instansi tersebut.
Hal ini menimbulkan kekhawatiran terkait tumpang tindih kewenangan antara militer dan sipil serta dampaknya terhadap profesionalisme TNI. Demikianlah informasi terkait isi RUU TNI-Polri yang kontroversial.
Kontributor : Dini Sukmaningtyas