“Harus diingat, Indonesia adalah sentra tembakau, yang sudah menjadi warisan dan bagian dari kultur masyarakat. Sehingga dalam proses penyusunan hingga implementasi aturannya harus selalu melibatkan pihak-pihak yang terdampak. Jangan sampai peraturan dibuat justru memakan korban, para pekerja di sektor ini bisa kehilangan pekerjaannya. Jadi, kita tidak bisa membuat aturan yang sekadar sesuai dengan kondisi negara di luar Indonesia. Harus kembali ke khittah dan kultur kita agar peraturan itu dapat berjalan dengan baik,” tambahnya.
Senada, seniman pantomim Jabar Wanggi Hoed, mengatakan seharusnya yang menjadi perhatian utama dalam pelaksanaan Perda KTR ini adalah belum terpenuhinya penyediaan tempat merokok yang mumpuni sebagai bentuk pemenuhan hak konsumen.
“Tempat untuk merokoknya saja tidak jelas di mana saja titiknya, ada berapa yang disediakan. Kewajiban penyediaan tempat merokok harus ditekankan. Jangan ujungnya, makin ke sini, implementasi peraturan itu makin rumit dan intimidatif,” ujarnya.