Modus operandi kasus ini adalah dengan sengaja menurunkan produksi kilang dalam negeri sehingga menciptakan alasan untuk mengimpor minyak. Bahkan, dalam impor tersebut ditemukan adanya manipulasi spesifikasi minyak, di mana Pertamina membeli bahan bakar Ron 90 (Pertalite) namun mencampurkannya untuk menjadi Ron 92 (Pertamax).
Kasus Gratifikasi Mantan Pejabat Direktorat Jenderal Pajak, Muhammad Haniv
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyelidiki dugaan gratifikasi yang melibatkan mantan Kepala Kantor Wilayah Direktorat Jenderal Pajak Jakarta Khusus, Muhamad Haniv. Ia diduga meminta uang dari sejumlah wajib pajak, termasuk PT Mitra Adiperkasa (MAPI), yang dikonfirmasi saat pemeriksaan saksi pada 26 Februari 2025.
Haniv diketahui menerima gratifikasi sebesar Rp 804 juta yang berkaitan dengan penyelenggaraan fashion show merek FH Pour Homme by Feby Haniv, bisnis milik anaknya, Feby Paramita.
Pada 5 Desember 2016, Haniv mengirimkan surat elektronik kepada pejabat pajak lainnya agar mencari sponsor untuk acara tersebut. Beberapa perusahaan menyetorkan dana langsung ke rekening Feby dengan jumlah total Rp 300 juta.
Selama periode 2016–2017, Feby menerima Rp 387 juta dari wajib pajak di Kantor Wilayah Pajak Jakarta Khusus dan Rp 417 juta dari sumber lainnya. Haniv juga diduga menerima gratifikasi dalam bentuk valuta asing senilai Rp 6,66 miliar serta memiliki deposito di Bank Perkreditan Rakyat (BPR) sebesar Rp 14,08 miliar, sehingga total gratifikasi yang diterimanya mencapai Rp 21,56 miliar.
Kasus Korupsi Dana BOS di SMP Negeri 9 Ambon
Kejaksaan Negeri (Kejari) Ambon menetapkan Kepala SMP Negeri 9 Ambon, Lona Parinusa, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi dana Bantuan Operasional Sekolah (BOS) dengan total kerugian negara mencapai Rp1,8 miliar.
Ia diduga melakukan penyalahgunaan dana tersebut bersama dua tersangka lainnya, yakni bendahara sekolah Mariance Latumeten dan mantan bendahara Yuliana Puttileihalat.
Baca Juga: Tim Hukum Hasto Belum Bahas Soal Laporan Dugaan Korupsi Keluarga Jokowi ke KPK
Kasus ini bermula dari pengelolaan dana BOS sejak 2020 hingga 2023 dengan total alokasi mencapai Rp5,8 miliar. Namun, dalam pengelolaannya, hanya tiga tersangka yang terlibat tanpa melibatkan pihak lain di sekolah. Selain itu, ditemukan adanya belanja fiktif dan pembayaran gaji guru honorer serta pegawai tidak tetap yang tidak sesuai dengan kondisi sebenarnya.