Pedagang Kelontong Mau Pasang Stiker Larangan Umur 21 Tahun Ke Bawah Beli Rokok

Achmad Fauzi Suara.Com
Selasa, 04 Februari 2025 | 15:49 WIB
Pedagang Kelontong Mau Pasang Stiker Larangan Umur 21 Tahun Ke Bawah Beli Rokok
Toko kelontong milik Ramli di Jalan Selokan Mataram, Depok, Sleman, Selasa (10/3/2020). [Suarajogja.id / M Ilham Baktora]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Asosiasi pedagang kelontong menyatakan kesiapannya untuk membatasi konsumsi rokok para remaja. Salah satunya dengan berencana menempelkan stiker larangan penjualan rokok di bawah usia 21 tahun.

Anjuran ini menjadi pilihan yang lebih bijak ketimbang dorongan penyusunan aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024, seperti penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek.

Wacana ini dijelaskan oleh Ketua Tim Kerja Pengendalian Penyakit Akibat Tembakau (PPAT) Kementerian Kesehatan (Kemenkes), Benget Saragih. Menurutnya stiker larangan menjual rokok kepada warga di bawah usia 21 tahun dinilai lebih tepat sasaran karena mendorong edukasi kepada masyarakat luas. Upaya ini bisa memberikan pemahaman untuk menekan angka konsumsi rokok di kalangan usia muda.

Gerakan edukasi itu didukung oleh Ketua Umum Perkumpulan Pedagang Kelontong Seluruh Indonesia (Perpeksi) Junaedi. Bagi dirinya, anjuran ini jauh lebih baik dibandingkan dengan aturan eksesif lainnya yang didorong Kemenkes, seperti penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek dalam Rancangan Permenkes.

Baca Juga: Selandia Baru Menuju Negara Tanpa Rokok di 2025

"Saya setuju untuk anak di bawah usia 21 tahun tidak merokok. Namun, untuk usia 21 ke atas itu saya rasa merupakan pilihan orang dewasa untuk menentukan selera apa yang mau dikonsumsi," ujarnya seperti dikutip, Selasa (4/2/2025).

Sebelumnya, Kemenkes melalui PP 28/2024 juga mengatur larangan penjualan rokok dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak yang banyak ditentang oleh berbagai pihak. Padahal, banyak warung yang sudah berjualan bertahun-tahun di lingkungan tersebut, bahkan sebelum sekolah atau tempat bermain anak didirikan.

Pembatasan yang dibebankan kepada warung-warung ini, menurut Junaedi, akan merugikan pendapatan para pedagang.

Junaedi menjelaskan bahwa aturan tersebut akan berdampak besar terhadap perekonomian masyarakat kelas menengah ke bawah yang didominasi oleh UMKM, termasuk warung-warung kelontong.

Menurut dia, kekinian pendapatan dari menjual rokok menjadi penyumbang terbesar pedagang, sekitar 60 persen dari total pendapatan warung-warung.

Baca Juga: Rencana Kebijakan Kemasan Polos Dinilai Bikin Bingung Bedakan Rokok Resmi dengan Ilegal

Ia menilai keputusan yang diambil tersebut berstandar ganda bagi industri hasil tembakau (IHT) yang selalu dipojokkan tanpa adanya solusi. Padahal, banyak orang yang menggantungkan hidupnya dari hulu hingga hilir di industri ini, seperti para pedagang kelontong.

Selain itu, Junaedi meminta agar Kemenkes melakukan dialog terbuka dengan industri tembakau, pelaku usaha kecil, hingga masyarakat sipil untuk merancang regulasi yang adil. Upaya ini agar menghasilkan kebijakan yang tidak ditentang oleh banyak pihak, termasuk masyarakat kelas menengah ke bawah.

"Jika Kemenkes terus melanjutkan bahkan mengesahkan Rancangan Permenkes, PERPEKSI dan lembaga serta asosiasi masyarakat lainnya siap turun ke jalan untuk menggugat," pungkas dia.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI