Di Balik Klaim Sukses Hilirisasi Nikel: Tingkat Kemiskinan di Daerah Penghasil Justru Stagnan

Minggu, 26 Januari 2025 | 10:46 WIB
Di Balik Klaim Sukses Hilirisasi Nikel: Tingkat Kemiskinan di Daerah Penghasil Justru Stagnan
Lokasi pertambangan ore nikel di Konawe Utara, Sulawesi Tenggara. [ANTARA/Jojon]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintahan Prabowo-Gibran terus mendorong program hilirisasi nikel untuk mencapai pertumbuhan ekonomi delapan persen yang tercantum dalam Asta Cita. Keseriusan ini dibuktikan dengan pembentukan satuan tugas Percepatan Hilirisasi dan Ketahanan Energi Nasional yang diatur dalam Keputusan Presiden (Keppres) Nomor 1 Tahun 2025 pada 3 Januari lalu.

Presiden Prabowo menunjuk Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Bahlil Lahadalia, sebagai ketua satgas dengan tujuan untuk meningkatkan nilai tambah ekonomi melalui percepatan hilirisasi di berbagai sektor, termasuk nikel, serta mempercepat terwujudnya ketahanan energi nasional.

Kebijakan hilirisasi nikel diklaim meningkatkan pendapatan ekonomi nasional sebesar 21,2–21,6% serta menciptakan penyerapan tenaga kerja hingga 13,83 juta dalam 10 tahun terakhir.

Namun sejumlah fakta yang terangkum dalam studi Koaksi Indonesia menunjukkan kesenjangan yang signifikan. Tingkat kemiskinan di daerah penghasil nikel cenderung stagnan bahkan di dua daerah, yaitu Halmahera Selatan dan Konawe cenderung meningkat.

Jumriani (12) dan dua orang adiknya bermain di ruang tamu yang dianggap steril dari polusi debu. Sejak adanya industri nikel setiap harinya Jumriani dan saudaranya tak berani keluar bermain karena mereka takut mengalami sakit dan batuk [Iqbal Lubis untuk Bollo.id]
Jumriani (12) dan dua orang adiknya bermain di ruang tamu yang dianggap steril dari polusi debu. Sejak adanya industri nikel setiap harinya Jumriani dan saudaranya tak berani keluar bermain karena mereka takut mengalami sakit dan batuk [Iqbal Lubis untuk Bollo.id]

Dampak kerusakan lingkungan, seperti deforestasi dan pencemaran lingkungan serta dampak negatif terhadap kesehatan dan keselamatan pekerja dan masyarakat menjadi tantangan yang membutuhkan perhatian besar dari pemerintah. Apabila pemerintah serius berkomitmen terhadap pelestarian lingkungan hidup, sebagai prioritas ke-11 dari 17 program prioritas Pemerintahan Prabowo-Gibran, kebijakan hilirisasi nikel sudah seharusnya lebih berorientasi pada keberlanjutan lingkungan.

Di tengah ancaman krisis iklim yang tengah terjadi, dekarbonisasi industri dan transformasi ekonomi ke arah ekonomi hijau yang lebih berkelanjutan menjadi kondisi ideal yang harus dicapai. Peluncuran hasil studi Koaksi Indonesia yang dilakukan bertepatan dengan momentum 100 hari Pemerintahan Prabowo-Gibran menyoroti dinamika kepentingan yang kompleks pada kebijakan hilirisasi nikel dan keterkaitannya dengan kemungkinan penciptaan lapangan kerja hijau atau Green Jobs di Indonesia.

Studi ini sekaligus mengingatkan kembali komitmen Presiden Prabowo pada pertemuan G20 untuk membawa Indonesia menuju transisi energi hijau yang berkelanjutan sebagai bagian dari kontribusi terhadap pencapaian Net Zero Emission Indonesia dan pembangunan global.

Hasil studi menunjukkan, pemerintah dan industri memiliki pekerjaan rumah yang signifikan untuk memastikan hilirisasi nikel tidak hanya berfokus pada aspek ekonomi, tetapi juga mencakup dua komponen kunci, yaitu pelestarian lingkungan dan keadilan sosial termasuk penciptaan pekerjaan yang mengakui hak-hak pekerja serta melindungi keselamatan dan kesejahteraan pekerja. Keduanya merupakan inti dari Green Jobs yang adil, berkelanjutan, dan inklusif.

Menegaskan hasil penelitian itu, Ridwan Arif, Manajer Riset dan Pengelolaan Pengetahuan Koaksi Indonesia, menyoroti tiga faktor yang menjadi alasan mengapa hilirisasi belum bisa dikatakan sebagai Green Jobs. “Ternyata, masih panjang konteks pekerjaan hijau dalam hilirisasi. Dalam hilirisasi ini, masih banyak hal yang belum terpenuhi untuk dapat dikatakan Green Jobs. Misalnya, lemahnya perlindungan pekerja, dampak sosial kepada masyarakat, dan praktiknya yang masih banyak menimbulkan kerusakan lingkungan.” kata Ridwan dalam analisanya dikutip Minggu (26/1/2025).

Baca Juga: Proyek 3 Juta Rumah Butuh Terobosan, SIG Tawarkan Solusi Ini

Untuk itu, industri pengolahan nikel sudah seharusnya memenuhi prinsip Environmental, Social and Governance (ESG) menuju transformasi ke arah dekarbonisasi industri dan praktik industri yang bertanggung jawab. Industri nikel yang bertanggung jawab akan memiliki implikasi jangka panjang, baik terhadap ekosistem lokal maupun daya saing produk nikel Indonesia di pasar internasional.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI