Nasib Petani Tembakau dan Cengkeh di Ujung Tanduk, Ini Penyebabnya

Achmad Fauzi Suara.Com
Selasa, 14 Januari 2025 | 13:24 WIB
Nasib Petani Tembakau dan Cengkeh di Ujung Tanduk, Ini Penyebabnya
Pekerja melinting tembakau di Aceh Besar. [Dok.Antara]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Industri kretek tengah menghadapi tekanan yang berat, Padahal, industri tembakau merupakan salah satu komoditas strategis nasional.

Masyarakat Pemangku Kretek Indonesia (MPKI) menilai banyaknya gerakan anti-tembakau melalui berbagai saluran dilakukan secara massif yang tujuannya menghancurkan industri kretek nasional.

Ketua umum MPKI, Homaidi mengatakan, kedaulatan petani tembakau dan cengkeh dihancurkan secara sistematis melalui intervensi legislasi.

Konspirasi global dan intervensi asing semakin kuat menggerogoti kedaulatan bangsa, diantaranya melalui produk hukum Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) Bagian Kedua Puluh Satu Pengamanan Zat Adiktif yang termuat dalam Pasal 429 - 463, dan aturan turunannya (Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan). Sebab, ruang lingkup pengaturan tersebut akan mematikan kelangsungan industri kretek nasional.

Baca Juga: Akademisi Nilai Rencana Kebijakan Kemasan Rokok Polos Bisa Timbulkan PHK Industri Tembakau

"Pemerintah ditekan untuk mengaksesi Framework Convention on Tobacco Control (FCTC) yang merupakan representasi kekuatan global yang merongrong kedaulatan bangsa. Kekuatan global itu diwakili FCTC sebagai bentuk kolonialisme dengan jubah baru," ujar Homaidi di Jakarta, Selasa (14/01/2025).

Homaidi menuturkan, PP 28/2024 diantaranya mengatur pembatasan tar dan nikotin, melarang bahan tambahan dan penyeragaman kemasan yang tidak cocok diterapkan di Indonesia yang memiliki produk khas seperti kretek.

"Kretek berbahan baku tembakau lokal yang memiliki nikotin tinggi serta kandungan rempah seperti cengkeh. Dengan pelarangan bahan tambahan, akan membuat petani tembakau dan cengkeh menjadi tidak terserap hasil panennya," jelas Homaidi.

Ia menegaskan, Indonesia memiliki alasan-alasan kuat untuk tidak meratifikasi FCTC. Pertama, Indonesia memiliki kepentingan yang besar terhadap komoditas tembakau dan produk hasil tembakau.

Negara sangat bergantung pada komoditas ini sebagai pendapatan negara. Cukai hasil tembakau (CHT) sendiri untuk penerimaan negara menyumbang sekitar 96-97 persen.

Baca Juga: Kementan Beberkan Kebijakan Rokok Baru Terhadap Petani Tembakau

"Pendapatan negara yang dipungut dari CHT tiap tahun ratusan triliunan, dan tahun 2024 realisasi CHT sebesar Rp 216,9 triliun," kata Homaidi.

Kedua, Industri kretek merupakan industri yang memberikan manfaat besar bagi rakyat Indonesia. Industri ini memiliki peran strategis baik dari tenaga kerja maupun sisi penerimaan
negara. Bahkan industri kretek merupakan satu-satunya industri yang terintegrasi
dari hulu sampai ke hilir.

Industri kretek menyerap tenaga kerja yang cukup besar karena bisa menghubungkan dari sektor penyedia inputnya sehingga menyerap
tenaga kerja dari pertaniannya, sektor pengolahanya, kemudian sektor pejualan yakni pedagang yang terlibat di dalamnya. Dari tenaga kerja bisa menyerap lebih dari 6 juta orang.

"Bisa kita bayangkan begitu besarnya orang yang terlibat dalam sektor industri kretek ini dan menggantungkan hidupnya dari sektor industri hasil tembakau," beber dia.

Kepala kajian dan advokasi MPKI, Agus Surono mengatakan, industri kretek sebagai sektor strategis nasional yang keberadaannya dilindungi UUD 1945, sudah seharusnya mendapatkan perlindungan nyata dari pemerintah.

Hal itu sejalan dengan visi misi Asta Cita presiden Prabowo Subianto dan wakil presiden Gibran Rakabuming Raka, yang ingin mendorong kemandirian bangsa melalui swasembada pangan, meningkatkan lapangan kerja yang berkualitas, mendorong kewirausahaan untuk pemerataan ekonomi dan pemberantasan kemiskinan.

Dalam konteks inilah, MPKI memberikan 3 rekomendasi urgen bagi pemerintah demi perlindungan industri kretek nasional. Pertama, perlu melakukan rembuk bersama dengan berbagai pemangku kepentingan secara berkesinambungan dalam rangka untuk menentukan roadmap kebijakan IHT ke depan.

"Roadmap ini diharapkan bisa menjadi desain kebijakan yang menjadi penengah bagi berbagai kepentingan yang ada dan memberi kepastian bagi pelaku usaha di industri tembakau," kata Agus Surono.

Kedua, menolak semua bentuk intervensi kepada pemerintah untuk mengaksesi FCTC. Saat ini klausul FCTC telah menginfiltrasi melalui beberapa regulasi/kebijakan pemerintah yang mengancam kedaulatan nasional.

"MPKI menolak semua bentuk produk hukum yang mengancam kedaulatan petani tembakau dan cengkeh," imbuh Surono.

Ketiga, melindungi industri kretek nasional dari semua bentuk gerakan dan konspirasi dari mana pun yang berupaya menghancurkan kedaulatan kretek nasional. 

"Kretek adalah salah satu budaya Indonesia yang asli (iconic) dan tidak dimiliki negara lainnya. Sebagai warisan budaya Indonesia, sudah selayaknya kita melestarikan kretek menjadi budaya bangsa," pungkas Surono.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI