Tantangan dan Peluang dalam Penambahan Lahan Sawit di Indonesia Menurut Pakar

Iwan Supriyatna Suara.Com
Minggu, 12 Januari 2025 | 13:07 WIB
Tantangan dan Peluang dalam Penambahan Lahan Sawit di Indonesia Menurut Pakar
Petani sawit sedang memanen buah kelapa sawit. [dipenda.pekanbaru.go.id]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Penambahan lahan kelapa sawit yang digagas Presiden Prabowo Subianto di kawasan hutan bukan sebagai kegiatan deforestasi. Pasalnya, penambahan lahan tersebut dilakukan di kawasan hutan yang sudah tidak berhutan atau terdegradasi.

Hal itu diungkapkan Guru Besar Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB) University, Prof Dr Yanto Santosa. Karena itu, Prof Yanto, mendukung rencana Presiden Prabowo yang akan menambah lahan sawit di kawasan hutan.

“Saya sangat mendukung pemanfaatan kawasan hutan yang rusak tersebut daripada pemerintah tidak sanggup menghutankan kembali,” kata Prof Yanto ditulis Minggu (12/1/2025).

Menurutnya, pada 2020 lalu Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menyatakan ada sekitar 31,8 juta hektare (ha) kawasan hutan yang tidak berhutan atau terdegradasi.

Baca Juga: Perluasan Kebun Kelapa Sawit Tak Perlu Lakukan Deforestasi

Kawasan hutan yang sudah rusak ini, kata Prof Yanto, sebaiknya dimanfaatkan untuk kegiatan pertanian dalam rangka menggapai ketahanan pangan maupun ketahanan energi.

Para akademisi yang memiliki latar belakang keilmuan tentang kehutanan, kata Yanto, melakukan kegiatan pertanian di kawasan hutan yang sudah rusak tersebut bukanlah sebagai tindakan deforestasi.

“Bukan sama sekali,” kata Prof Yanto.

Namun demikian, Prof Yanto mengingatkan agar kawasan hutan terdegradasi tersebut jangan semuanya ditanami sawit, tapi sebagiannya harus ditanami tanaman hutan unggulan.

“Cukup 70%nya saja, sisanya ditanami tanaman hutan unggulan. Contohnya bangkirai, ulin, kayu hitam atau bisa juga meranti,” katanya.

Baca Juga: Menhut Raja Juli Mau Babat 20 Juta Hektar Lahan Hutan Demi Pangan, RI Juara Soal Deforestasi

Oleh karena itu, lanjut Prof Yanto, hal ini tidak dinamakan deforestasi.

“Jadi pemikiran para LSM dan guru besar yang mengomentari akan terjadi gangguan ekologi, kurang pas itu. Karena hutan yang akan ditanami sawit yang dimaksud oleh Presiden adalah sebetulnya memang hutan yang sudah rusak,” papar Prof Yanto.

Makanya, kata dia, rencana Presiden ini tidak ada hubungannya dengan deforestasi.

“Toh lahan yang ditanami tersebut (statusnya) masih kawasan hutan, hanya tanaman dominannya adalah sawit. Lagi pula sawit di tempat asalnya sana (Afrika) sebetulnya kan tanaman hutan?” jelas Prof Yanto.

Sebagai akademisi di bidang kehutanan, Prof Yanto mendukung rencana pemerintah mengoptimalkan lahan tersebut untuk kegiatan pertanian, khususnya perkebunan kelapa sawit.

“Daripada pemerintah tidak sanggup menghutankan kembali, lebih baik ditanami sawit dan tanaman hutan yang proporsinya 70% sawit dan 30% tanaman hutan,” katanya.

Pandangan berbeda disampaikan pengamat lingkungan dan kehutanan Petrus Gunarso. Menurutnya, jika pemerintah ingin menambah produksi minyak sawit, maka yang perlu dilakukan adalah melakukan replanting kebun sawit secara besar-besaran.

Sebab, produktivitas rata-rata perkebunan kelapa sawit di Indonesia itu masih sangat rendah. Data Statistik Perkebunan Kementerian Pertanian tahun 2020 menunjukkan produktivitas rata-rata perkebunan sawit nasional 3,89 ton CPO/ha/tahun.

Produktivitas kebun sawit rakyat sebesar 3,429 ton CPO/ha/tahun, kebun sawit milik negara (PTPN) 4,2 ton, dan swasta mencapai 4,4 ton.

“Kita kalah jauh dibandingkan Malaysia,” katanya.

Indonesia sebenarnya sudah berusaha melakukan replanting melalui program peremajaan sawit rakyat (PSR). Namun realisasinya, Program PSR ini tidak pernah mencapai target seluas 180.000 ha/tahun.

Lambannya PSR ini, kata Petrus, mayoritas dipicu oleh persoalan legalitas lahan. Persoalan legalitas ini muncul lantaran Kementerian Kehutanan (Kemenhut) masih mengklaim sekitar 65% wilayah Indonesia adalah kawasan hutan.

Jika 65% wilayah Indonesia ini masih dinyatakan sebagai kawasan hutan, maka akan terus muncul polemik ataupun kegaduhan bilamana ada wacana penambahan lahan untuk kegiatan pertanian/perkebunan atau kegiatan non kehutanan.

Karena itu, Petrus mengusulkan supaya pemerintah bersama DPR, akademisi serta masyarakat sipil duduk bersama berembug untuk melakukan inventarisasi hutan nasional.

“Duduk bareng merencanakan tata ruang untuk kesepakatan baru,” kata Petrus.

Pasalnya, Tata Guna Hutan Kesepakatan (TGHK) yang dijadikan patokan saat ini sebagai tata ruang itu ditetapkan awal tahun 1970an. Di mana saat itu penduduk Indonesia masih sekitar 120 juta orang, sementara saat ini sudah sekitar 282 juta orang.

“Dengan kesepakatan tata ruang baru ini bisa dilakukan untuk memperluas kawasan untuk pangan, tanaman industri entah itu sawit atau tanaman apapun, sehingga kita tidak bisa dikatakan lakukan deforestasi,” papar Petrus Gunarso.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI