Suara.com - Polemik pengelolaan Jakarta Convention Center (JCC) terus bergulir antara investor dengan Pusat Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung Karno (PPKGBK). Masing-masing pihak terus mengeluarkan argumen untuk mempertahankan pengelolaannya.
Dari sisi investor, PT Graha Sidang Pratama (GSP) JCC menegaskan bahwa pihaknya tetap berpegang teguh pada Perjanjian Kerjasama Bangun Guna Serah (Build Operate Transfer/BOT) yang ditandatangani tahun 1991.
Di mana perusahaan memiliki pilihan pertama untuk memperpanjang kontrak setelah perjanjian kerjasama berakhir pada 21 Oktober 2024.
Pada saat PT GSP (dulu PT Indobuildco) menandatangani kesepakatan dengan PPKGBK (dulu Badan Pengelola Gelanggang Olahraga Senayan/BPGS), terdapat sejumlah klausul yang mengikat kedua pihak. Pasal 8.1 Perjanjian menyebut PT GSP harus menyerahkan Gedung JCC setelah berakhirnya perjanjian pada 21 Oktober 2024.
Baca Juga: Investor JCC Buka Suara Soal Penutupan Akses Oleh PPKGBK
Namun pada pasal 8.2 menyebutkan PT GSP memiliki pilihan pertama untuk memperpanjang Perjanjian dengan PPKGBK berdasarkan persyaratan yang akan ditentukan kemudian.
"Kami telah menguji adanya pengingkaran perjanjian tahun 1991 yang dilakukan oleh PPKGBK di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat atas pengingkaran klausul perjanjian pasal 8 ayat 2 itu. Sebagai investor dan pengelola JCC tentu kami punya hak untuk menagih janji pemerintah atas kesepakatan yang ditandatangani kedua pihak di tahun 1991 lalu," ujar kuasa hukum PT GSP, Amir Syamsudin, di Jakarta, Sabtu (4/1/2025).
Menurut Amir, langkah PPKGBK menutup JCC dengan dasar perjanjian pasal 8.1 jelas menunjukkan adanya pengingkaran hukum. Karena fakta hukumnya terdapat klausul lain yang menjadikan PT GSP memiliki hak untuk memperpanjang pengelolaannya di JCC.
"Ketidakpatuhan terhadap perjanjian ini jelas menjadi ancaman terhadap investor dan pelaku usaha. Jangan sampai kepentingan sepihak dan jangka pendek menghancurkan ekonomi Indonesia," kata Amir.
Amir menegaskan, PT GSP tidak sedang melawan negara. Perusahaan justru patuh terhadap setiap kewajiban kepada negara dan tidak pernah wanprestasi. "Kami hanya ingin klausul perjanjian dipatuhi para pihak. Bukan dengan tindakan sewenang-wenang yang justru merugikan negara karena bisnis MICE bisa hancur akibat ulah PPKGBK," tandasnya.
Baca Juga: Investor Asing Dapat Pembebasan Pajak saat Rakyat Indonesia Terhimpit PPN 12 Persen
PT GSP sesuai dengan perjanjian tahun 1991, telah menawarkan perpanjangan kontrak dengan kontribusi ke negara yang menurut perusahaan sangat baik. Namun proposal itu justru ditolak dan sekarang JCC diambil alih dengan mengabaikan hak-hak investor yang nyata dilindungi oleh perjanjian.
Edwin Sulaeman, General Manager JCC mengaku kaget atas langkah PPKGBK menutup akses ke JCC dan sebagai pengelola, lanjut Edwin, pihak JCC berharap kegiatan yang sudah berkontrak dapat berjalan. Karena tindakan yang dilakukan oleh PPKGBK menutup akses ke JCC telah menimbulkan kepanikan dari para mitra bisnis dan klien yang sudah menetapkan jadwal kegiatannya di JCC pada tahun ini.
"Kami menghormati proses hukum yang berjalan dan kepada mitra bisnis JCC kita akan tetap menjalankan kegiatan sesuai kontrak yang telah disepakati," ujar Edwin.
Sementara, Kementerian Sekretariat Negara Republik Indonesia c.q. Pusat Pengelolaan Komplek Gelanggang Olahraga Bung Karno (PPKGBK) menegaskan bahwa berakhirnya kerja sama pengelolaan Balai Sidang Jakarta yang terletak di Blok 14 (Blok 14), adalah karena telah berakhirnya jangka waktu Perjanjian Kerja Sama Bangun Guna Serah antara PPKGBK dengan PT Graha Sidang Pratama (PT GSP) (Perjanjian Kerja Sama) pada tanggal 21 Oktober 2024, dan bukan merupakan bentuk pemutusan/pengakhiran sepihak.
Dengan berakhirnya Perjanjian Kerja Sama pada 21 Oktober 2024, PT GSP berkewajiban untuk menyerahkan aset Blok 14 dan objek Perjanjian Kerja Sama (“Aset Blok 14”) kepada PPKGBK sesuai dengan kesepakatan dalam Perjanjian Kerja Sama dan ketentuan peraturan perundang-undangan yang saat ini berlaku.
Hal ini, menurut PPKGBK merupakan hal yang tidak sesuai dengan ketentuan dalam Perjanjian Kerja Sama, mengingat bahwa pengembalian atau penyerahan Aset Blok 14 tersebut merupakan kewajiban PT GSP yang timbul seiring berakhirnya Perjanjian Kerja Sama, tanpa syarat apapun.
Ardian Deny Sidharta, selaku tim kuasa hukum PPKGBK, menyatakan Penolakan PT GSP untuk mengembalikan atau menyerahkan Aset Blok 14 kepada PPKGBK, sebagai suatu syarat agar PPKGBK bersedia memperpanjang perjanjian, dapat dianggap sebagai suatu bentuk penguasaan suatu Barang Milik Negara tanpa dasar yang jelas.
“PPKGBK telah berkoordinasi secara intensif dengan instansi-instansi terkait, termasuk di antaranya Kementerian Keuangan dan Kementerian Sekretariat Negara untuk memastikan bahwa penyerahan dan pencatatan Barang Milik Negara yaitu Aset Blok 14 berjalan sesuai ketentuan yang berlaku, sebagai bentuk komitmen PPKGBK dalam melakukan pengamanan Barang Milik Negara,” kata Deny ditulis Jumat (8/11/2024).