Kontraksi Ekonomi Kenaikan PPN 12% hanya Sementara, Dampak Bisa Diredam dengan Pemberian Insentif secara Tepat

Sabtu, 28 Desember 2024 | 11:09 WIB
Kontraksi Ekonomi Kenaikan PPN 12% hanya Sementara, Dampak Bisa Diredam dengan Pemberian Insentif secara Tepat
Ilustrasi PPN 12 Persen akan diberlakukan pemerintah tahun 2025. [Suara.com/Rochmat]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kontraksi Ekonomi Kenaikan PPN 12% hanya Sementara, Dampak Bisa Diredam dengan Pemberian Insentif secara Tepat

Pada 1 Januari 2025, pemerintah akan memberlakukan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, dari yang sebelumnya, 11%. PPN akan berlaku pada barang-barang mewah yang telah ditentukan.

Menurut pengamat dari Investasi Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Ariyo DP Irhama, kenaikan PPN memang dapat menyebabkan kontraksi ekonomi, namun sifatnya hanya sementara. Hal ini terutama besar pengaruhnya terhadap konsumsi rumah tangga.

"Berdasarkan pengalaman kebijakan serupa di negara lain, kontraksi ekonomi akibat kenaikan pajak biasanya bersifat temporer. Pemulihan biasanya memakan waktu sekitar 6-12 bulan. Ini tergantung pada efektivitas kebijakan mitigasi yang diterapkan," ujarnya kepada Suara.com, Minggu (22/12/2024).

Baca Juga: Massa HMI Kepung Patung Kuda, Tolak Kenaikan PPN 12 Persen Era Prabowo

Hal serupa juga diungkapkan pengamat ekonomi, Yustinus Pratowo. Ia menyebut, kontraksi ekonomi pasti akan terjadi sebagai dampak dari pemberlakuan kenaikan PPN menjadi 12%, namun hal ini bisa terjadi dalam jangka pendek saja dan tidak berlarut-larut.

"Pemulihan terhadap kontraksi ekonomi akan sangat bergantung pada kinerja ekonomi, yaitu tentang bagaimana kebijakan-kebijakan yang mendukung industri dan lain-lain dapat membuka lapangan kerja baru. Sebenarnya kuncinya ada di orkestrasi kebijakan, baik fiskal moneter dan sektor riil," ujarnya kepada Suara.com.

Secara lebih lengkap, Ariyo menambahkan, pemulihan dapat lebih cepat jika pemerintah menjaga kestabilan harga kebutuhan pokok dan mendorong pertumbuhan sektor-sektor strategis. Hal ini sudah diungkapkan oleh pemerintah beberapa bulan sebelum pengumuman kenaikan pajak.

Sebelum kenaikan PPN diberlakukan, pemerintah telah menyatakan sudah menyiapkan insentif berupa Paket Stimulus Ekonomi, demi menjaga daya beli masyarakat.

"Secara prinsip, insentif ini bertujuan untuk menjaga daya beli masyarakat dan mendorong stabilitas ekonomi di tengah perubahan kebijakan PPN. Bagi rumah tangga, insentif ini diarahkan untuk menjaga konsumsi, yang merupakan salah satu pilar utama perekonomian Indonesia," sebut Ariyo.

Baca Juga: PPN Naik 12%, Pengamat: Jaga Daya Beli, Insentif bagi Masyarakat Sudah Tepat

Sementara itu, untuk dunia usaha, insentif diharapkan dapat mengurangi beban tambahan akibat kenaikan biaya operasional. Namun agar daya beli masyarakat tetap terjaga, insentif harus menyasar kelompok yang paling terdampak kenaikan harga akibat PPN, seperti rumah tangga berpendapatan rendah dan sektor UMKM.

Berdasarkan pernyataan Menteri Koordinator Perekonomian, Airlangga Hartarto beberapa waktu lalu,  pemerintah telah menyiapkan Paket Stimulus Ekonomi, yaitu Insentif bagi Rumah Tangga, Insentif bagi Kelas Menengah, dan Insentif bagi Dunia Usaha.

Bagi masyarakat berpenghasilan rendah, pemerintah memastikan bahwa barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, sayur, dan layanan dasar (kesehatan, pendidikan), dibebaskan dari PPN. Selain itu ada stimulus tambahan, seperti bantuan pangan 10 kg beras untuk 16 juta penerima bantuan, subsidi PPN 1% untuk minyak goreng bersubsidi, dan diskon listrik, sehingga diharapkan mampu memberikan perlindungan pada daya beli masyarakat.

Masyarakat juga bisa mendapatkan subsidi listrik 50% untuk rumah tangga dengan daya ≤2.200 VA selama dua bulan. Selain itu, perpanjangan insentif pajak bagi UMKM, sebagai salah satu tulang punggung ekonomi negara.

Lalu apa yang disarankan Ariyo bagi masyarakat selama masa kontraksi ekonomi?

"Saat kontraksi ekonomi temporer, masyarakat perlu lebih bijak dalam mengelola pengeluaran. Prioritaskan pengeluaran untuk kebutuhan dasar dan manfaatkan insentif yang diberikan pemerintah, seperti subsidi atau bantuan langsung," katanya.

Masyarakat kelas menengah dapat memanfaatkan fasilitas kredit berbunga rendah untuk menjaga daya beli, sementara itu, sektor UMKM harus proaktif mencari informasi terkait insentif atau program pendukung dari pemerintah.

"Kemudian di sisi lain, pemerintah perlu memastikan adanya edukasi publik agar masyarakat memahami kebijakan ini dan memanfaatkan insentif dengan optimal," tutup Ariyo.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI