Suara.com - Pajak merupakan instrumen penting bagi pembangunan. Dalam pemungutannya selalu mengutamakan prinsip keadilan dan gotong-royong. Hal inilah yang mendasari pemerintah untuk menerapkan kebijakan PPN 12% yang bersifat selektif untuk rakyat dan perekonomian.
Menteri Keuangan (Menkeu), Sri Mulyani Indrawati mengatakan, Pemerintah terus berupaya menjaga daya beli masyarakat dan menstimulasi perekonomian melalui berbagai paket kebijakan ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan, salah satunya dari sisi perpajakan.
"Keadilan adalah dimana kelompok masyarakat yang mampu akan membayarkan pajaknya sesuai dengan kewajiban berdasarkan undang-undang, sementara kelompok masyarakat yang tidak mampu akan dilindungi bahkan diberikan bantuan. Di sinilah prinsip negara hadir,” ungkap Menkeu dikutip laman Kementerian Keuangan.
Selain adil, stimulus ini juga mengedepankan keberpihakan terhadap masyarakat. Keberpihakan itu dapat dilihat dari penetapan barang dan jasa yang dibutuhkan masyarakat banyak seperti kebutuhan pokok, jasa pendidikan, jasa kesehatan, jasa angkutan umum tetap dibebaskan dari PPN (PPN 0%).
Baca Juga: PPN Berlaku 12 Persen, Tarif Bus Damri Hingga Kereta Api Naik Tahun Depan?
Namun barang yang seharusnya membayar PPN 12% antara lain tepung terigu, gula untuk industri, dan Minyak Kita (dulu minyak curah) beban kenaikan PPN sebesar 1% akan dibayar oleh Pemerintah (DTP).
Sementara itu, kekhawatiran naiknya PPN sebesar 12% terhadap daya beli masyarakat menengah ke bawah, apalagi di tengah maraknya PHK saat ini coba ditepis Direktorat Jenderal Pajak (DJP) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) yang menjelaskan bahwa kenaikan tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dari 11 persen menjadi 12 persen mulai 1 Januari 2025 dipastikan tidak akan terlalu memengaruhi harga barang dan jasa.
Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Ditjen Pajak, Dwi Astuti, menuturkan daya beli masyarakat tetap terjaga karena dampak kenaikan ini terhadap harga barang hanya sekitar 0,9 persen.
“Jadi, kenaikan PPN 11 persen menjadi 12 persen hanya menyebabkan tambahan harga sebesar 0,9 persen bagi konsumen,” kata Dwi dalam keterangan resminya.
Dwi menegaskan kebutuhan pokok masyarakat seperti beras, gabah, jagung, sagu, kedelai, garam, daging, telur, susu, buah-buahan, dan sayur-sayuran tetap mendapatkan fasilitas pembebasan PPN atau dikenakan tarif 0 persen.
Baca Juga: Rocky Gerung: PPN 12 Persen Ancam Pemerintahan Prabowo, Rakyat Tuntut Pembatalan!
“Jasa-jasa di antaranya jasa pelayanan kesehatan medis, jasa pelayanan sosial, jasa keuangan, jasa asuransi, jasa pendidikan, jasa angkutan umum di darat dan di air, jasa tenaga kerja serta jasa persewaan rumah susun umum dan rumah umum,” jelasnya.
Barang lainnya misalnya buku, kitab suci, vaksin polio, rumah sederhana, rusunami, listrik, dan air minum juga termasuk daftar bebas PPN.
Pengamat yang juga Peneliti Center of Industry, Trade, and Investment Indef, Ariyo D.P. Irhamna mengatakan kenaikan PPN menjadi 12% memang berpotensi memberikan dampak kepada masyarakat kelas menengah ke bawah, terutama jika mereka mengkonsumsi barang dan jasa yang terkena PPN. Meskipun, pemerintah sudah menetapkan berbagai barang kebutuhan pokok, layanan kesehatan, pendidikan, dan barang strategis lainnya bebas PPN.
Oleh karena itu, penting untuk memastikan implementasi yang tepat dan pengawasan agar barang-barang tersebut tetap terjangkau.
“Pemerintah juga perlu memastikan perlindungan sosial yang memadai untuk kelompok rentan, terutama di tengah situasi PHK yang bisa memperburuk tekanan ekonomi,” ucap Ariyo kepada Suara.com, Senin (23/12/2024).
Secara umum, menurut Ariyo daya beli masyarakat Indonesia mulai pulih setelah pandemi, tetapi belum sepenuhnya stabil di tengah ancaman inflasi global dan perlambatan ekonomi. Kenaikan PPN dapat memberikan tekanan tambahan pada daya beli, terutama untuk kelas menengah ke bawah.
“Namun, dampaknya bisa diminimalkan jika pemerintah menyediakan subsidi langsung atau memperkuat program bantuan sosial seperti bantuan pangan, Kartu Prakerja, dan perlindungan UMKM. Selain itu, penting bagi pelaku usaha untuk tidak langsung memindahkan seluruh beban kenaikan PPN ke konsumen, sehingga daya beli tetap terjaga,” terangnya.
Ariyo menegaskan masyarakat perlu mengatur kembali prioritas pengeluaran mereka dengan lebih selektif dalam belanja.
Berikut beberapa langkah yang dapat diambil:
- Pengelolaan anggaran rumah tangga: Fokus pada kebutuhan pokok dan kurangi konsumsi barang atau jasa yang kurang mendesak.
- Meningkatkan literasi keuangan: Masyarakat perlu memahami pengelolaan utang, investasi kecil, atau tabungan untuk masa depan.
- Memanfaatkan diskon dan promosi: Cari peluang untuk memanfaatkan penawaran diskon, terutama sebelum kenaikan harga pada 2025.
- Mengakses program pemerintah: Masyarakat perlu memanfaatkan bantuan sosial atau subsidi yang diberikan oleh pemerintah untuk mengurangi dampak beban ekonomi.
“Sebagai catatan, pemerintah juga harus transparan dalam menjelaskan manfaat dari kenaikan PPN ini, seperti penggunaannya untuk pembangunan infrastruktur, pendidikan, atau layanan publik lainnya. Hal ini penting agar masyarakat merasa ada timbal balik yang nyata dari pengorbanan mereka,” papar Ariyo.
Sebagai informasi, dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, tarif PPN 12% di Indonesia masih tergolong kompetitif dan tidak termasuk yang tertinggi.
Thailand memiliki tarif PPN sebesar 7%, yang merupakan salah satu tarif terendah di kawasan. Malaysia memiliki tarif PPN (GST sebelumnya) sebesar 6%, tetapi saat ini memberlakukan SST dengan variasi tarif berbeda.
Vietnam memiliki tarif PPN standar 10%, yang lebih rendah dibandingkan Indonesia setelah kenaikan menjadi 12%. Singapura memiliki tarif GST 8% pada 2024, dengan rencana kenaikan menjadi 9% pada 2025. Filipina menerapkan PPN sebesar 12%, setara dengan tarif yang akan diberlakukan di Indonesia.