Dengan demikian, pemerintah tetap menginginkan agar harga barang dan jasa tersebut tidak mengalami kenaikan di tingkat konsumen.
Selain itu, muncul pasal tambahan yaitu Pasal 9A yang menyatakan bahwa barang dan/atau jasa tertentu dapat dipungut PPN dengan besaran tarif tertentu. Mereka adalah barang atau jasa yang dikenai PPN dalam rangka perluasan basis pajak serta barang yang dibutuhkan oleh masyarakat banyak.
Selanjutnya, Pasal 16G memberikan panduan bahwa tarif PPN untuk jenis barang dan jasa tertentu diatur dalam Peraturan Menteri Keuangan (PMK). Beredar informasi bahwa tarif dimaksud berada pada kisaran 1% s.d. 3% dari dasar pengenaan pajak.
Namun, kita masih menunggu PMK sebagai tindak lanjut ketentuan Pasal 16G tersebut.
Dengan demikian, sejak UU HPP disahkan, Indonesia secara resmi menerapkan multitarif dalam PPN setelah selama kurang lebih 36 tahun menerapkan tarif tunggal. Kecuali untuk ekspor yang dikenai PPN dengan tarif 0% karena adanya prinsip destinasi yang menyatakan bahwa PPN hanya dikenakan atas konsumsi di dalam negeri.
Sebelum muncul tarif baru seperti di atas, kita sudah mengenal tarif efektif PPN.
Tarif ini sejatinya adalah hasil perkalian tarif standar PPN 10% dengan persentase tertentu dari dasar pengenaan PPN.
Sebagai contoh, PPN yang dibayarkan oleh pengusaha jasa pengiriman paket. Ketentuan yang ada saat ini mengharuskan pengusaha jasa pengiriman paket menerapkan dasar pengenaan pajak (DPP) sebesar 10% dari tagihan atau ongkos kirim.
Misalnya, ongkos kirim adalah Rp50,000,00 maka DPP-nya sebesar 10% x Rp50.000,00 = Rp5.000,00.
Baca Juga: Beras Impor Bakal Kena PPN 12 Persen, Ini Perbandingan Harganya Beras Lokal
Dengan menerapkan tarif standar PPN sebesar 10% dari DPP, maka PPN-nya adalah sebesar 10% x Rp5.000,00 = Rp500,00. Dalam kasus ini, tarif efektif PPN adalah sebesar 1% yang berasal dari Rp500,00 dibagi Rp50.000,00. Jumlah sebesar Rp500,00 itulah yang disetorkan ke Kas Negara oleh pengusaha jasa pengiriman paket.