Suara.com - Kasus dugaan korupsi pengelolaan Timah hampir menempuh babak akhir Hal ini setelah terdakwa Harvey Moeis dituntut 12 tahun penjara dan denda Rp 1 miliar subsidair 1 tahun kurungan oleh Kejaksaan Agung (Kejagung).
Harvey Moeis dinilai terbukti bersalah melakukan tindak pidana korupsi secara sah dan meyakinkan secara bersama-sama sebagaimana dakwaan kesatu primair.
Terlepas dari hal itu, persidangan dugaan korupsi itu menuai sorotan tajam. Salah satunya metode perhitungan kerugian lingkungan yang dilakukan pihak penuntut.
Penasehat hukum Junaedi Saibih menyebut, pentingnya keterlibatan ahli yang relevan, seperti ahli geologi untuk menilai dampak tambang secara akurat, bukan ahli kehutanan.
Baca Juga: Pengakuan Eks Direksi RBT: Niat Bantu BUMN PT Timah, Malah Masuk Penjara!
"Interpretasi citra satelit atas bukaan tambang seharusnya dilakukan oleh ahli geologi, bukan ahli kehutanan," ujarnya dalam persidangan duplik terdakwa Dirut PT RBT, Suparta, seperti dikutip Minggu (22/12/2024).
Junaedi pun mempertanyakan ketepatan perhitungan oleh spesialis forensik api di Institut Pertanian Bogor (IPB) Prof. Bambang Hero Saharjo.
Dalam hitungan ahli itu, terdapat bukaan tambang pada 2019-2020 mencapai 170.363 hektare dengan kerugian lingkungan mencapai Rp171 triliun.
Namun, menurut Junaedi, data justru menunjukkan bahwa mayoritas area terbuka akibat aktivitas tambang PT Timah Tbk telah terjadi sebelum Januari 2015.
Pada periode 2015-2022, luasan bukaan hanya 5.658,30 hektare atau 10,86 persen dari total area.
Baca Juga: Terseret Kasus Korupsi Timah Harvey Moeis, Bos RBT Pasrah: Sial Sekali Hidup Saya
"Hal Ini yang membantah tuduhan jaksa bahwa kegiatan tambang masif terjadi pada 2015-2022," beber dia,
Junaedi melihat, metode perhitungan kerugian yang dilakukan tidak relevan. Ia berpandangan ada kecenderungan mencampuradukkan keilmuan, yang dapat menimbulkan keraguan terhadap objektivitas proses hukum.
"Menugaskan ahli kehutanan untuk menghitung kerugian di wilayah pertambangan adalah praktik yang mengabaikan prinsip keilmuan," beber dia.
Junaedi menuturkan, perhitungan kerugian lingkungan sudah seharusnya menjadi domain Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), yang memiliki tupoksi dalam studi kelayakan tambang.
Ahli lain, Guru Besar Bidang Ekonomi Kehutanan dan Lingkungan IPB, Prof. Dr. Sudarsono Soedomo, yang memberikan keterangan di persidangan, menguatkan pandangan tersebut.
“Pemerintah sudah menghitung dampak tambang terhadap lingkungan dan ekonomi sebelum memberikan izin usaha. Hal ini dilakukan melalui cost-benefit analysis untuk memastikan dampak positif lebih besar daripada dampak negatif," jelasnya.
Sebelumnya, Persidangan pledoi kasus timah Bangka Belitung di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat (PN Jakpus) pada Rabu (19/12/2024) memunculkan sejumlah fakta baru. Direktur Pengembangan PT. Refined Bangka Tin (RBT) Reza Andriansyah mengungkapkan bahwa dirinya tidak memiliki kewenangan dalam memutuskan berbagai keputusan dalam perseroan tanpa seizin Direktur Utama.
Dalam persidangan, terungkap Ia hanya bekerja sebagai karyawan profesional dengan posisi Direktur Pengembangan Usaha yang diangkat oleh Direktur Utama RBT Suparta melalui Surat Keputusan (SK) oleh Direktur Utama PT Refined Bangka Tin No. 032/SK-HR/RBT/II/2017 tertanggal 24 Februari 2017 yakni hanya sebatas Surat Keputusan Direksi.
“Meskipun jabatan saya memiliki judul “direktur”, namun nama saya tidak ada dalam Akta Perusahaan. Posisi Direktur yang dimaksud dalam jabatan saya adalah direktur dalam struktur organisasi perusahaan, dan bukan Direktur sebagai organ Perusahaan yaitu pengurus Perseroan terbatas sebagaimana dimaksud dalam Undang-undang Perseroan Terbatas,” kata Reza di depan Majelis Hakim dalam persidangan.