PPN 12% Menkeu Sebutkan Inflasi Dijaga Rendah Sesuai APBN 2025, Ini Tips Buat Konsumen Sikapi Perubahan Pajak

Minggu, 22 Desember 2024 | 12:08 WIB
PPN 12% Menkeu Sebutkan Inflasi Dijaga Rendah Sesuai APBN 2025, Ini Tips Buat Konsumen Sikapi Perubahan Pajak
Pengunjung berbelanja di salah satu pusat perbelanjaan yang ada di Jakarta, Kamis (28/11/2024). [Suara.com/Alfian Winanto]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Pemerintah RI menyatakan pemberlakuan Pajak Pertambahan Nilai atau PPN 12% berlaku mulai Januari 2025.

Menteri Keuangan RI, Sri Mulyani Indrawati menyatakan bahwa keputusan Pemerintah Indonesia menaikkan PPN persen karena Rasio Pajak Indonesia rendah, sehingga untuk meningkatkan angka rasio pajak Indonesia, dikenakan PPN 12%.

Penerapan PPN 12% berangkat dari target pemerintah untuk peningkatan penerimaan pajak guna mendukung berbagai program pembangunan. Selain itu, inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025 yang berada di kisaran 1,5%-3,5%.

Josua Pardede, seorang Ekonom dan Chief Economist Permata Bank kepada Suara.com memaparkan bahwa kenaikan PPN menjadi 12% di Indonesia yang diperkirakan memicu inflasi tambahan sebesar 0,2% hingga 0,6% memberikan gambaran yang lebih kompleks mengenai hubungan inflasi dan kebijakan fiskal.

Baca Juga: Retail dan Operator Buka Suara soal PPN 12 Persen

Hal ini mencerminkan langkah pemerintah untuk:

1.         Redistribusi Pendapatan: Pengenaan PPN lebih tinggi pada barang/jasa mewah bertujuan untuk meningkatkan kontribusi dari masyarakat mampu dan menjaga daya beli kelompok rentan melalui stimulus seperti subsidi listrik dan bantuan pangan.

2.         Daya Dorong Ekonomi: Pemerintah melengkapi kebijakan ini dengan paket stimulus senilai Rp38,6 triliun untuk mendukung konsumsi rumah tangga, sektor UMKM, dan industri padat karya.

3.         Inflasi yang Terkendali: Inflasi yang dihasilkan dari kebijakan ini diproyeksikan tetap dalam batas aman, dengan estimasi <3% untuk 2025. Hal ini mencerminkan strategi fiskal yang seimbang untuk mendorong pertumbuhan tanpa menekan daya beli masyarakat secara signifikan.

“Inflasi tidak sepenuhnya negatif. Dalam konteks kebijakan kenaikan PPN ini, dampak inflasi yang relatif kecil (0,2%-0,6%) lebih berfungsi sebagai alat distribusi fiskal dan pendukung pembangunan berkelanjutan. Konteks, manajemen, dan mitigasi dampak merupakan faktor penting dalam menentukan apakah inflasi memberikan hasil positif atau negatif bagi perekonomian,” jelas Josua Pardede.

Baca Juga: Menohok, Bintang Emon Roasting Pemerintah Soal PPN 12 Persen: Hitungannya Maling...

Ia menambahkan, dibandingkan dengan negara-negara Asia Tenggara lainnya, tarif PPN 12% di Indonesia masih tergolong kompetitif dan tidak termasuk yang tertinggi.

Bisa disimak bahwa Thailand memiliki tarif PPN sebesar 7%,  menjadi salah satu tarif terendah di antara negara-negara ASEAN. Malaysia memiliki tarif PPN (sebelumnya disebut sebagai GST) sebesar 6%, tetapi saat ini memberlakukan SST dengan variasi tarif berbeda. 

Vietnam memiliki tarif PPN standar 10%, atau lebih rendah dibandingkan Indonesia setelah kenaikan menjadi 12%. Singapura memiliki tarif GST 8% pada 2024, dengan rencana kenaikan menjadi 9% pada 2025. Filipina menerapkan PPN sebesar 12%, setara dengan tarif yang akan diberlakukan di Indonesia.

Secara keseluruhan, tarif PPN Indonesia akan berada di tingkat menengah atas, setara dengan Filipina, dan masih lebih rendah dibandingkan beberapa negara maju atau berkembang lainnya yang menerapkan tarif hingga 20% atau lebih. Hal ini mencerminkan upaya Pemerintah RI untuk tetap kompetitif secara regional sambil meningkatkan pendapatan fiskal.

Pemerintah menetapkan target inflasi dalam rentang 1,5-3,5% sebagai bagian dari stabilitas ekonomi. Angka ini dianggap cukup rendah untuk menjaga daya beli masyarakat namun cukup tinggi untuk mendorong pertumbuhan ekonomi.

Kenaikan PPN dari 11% menjadi 12% hanya diperkirakan menambah inflasi sebesar 0,2-0,6%. Angka ini relatif kecil karena kenaikan PPN difokuskan pada barang dan jasa yang dikategorikan mewah atau untuk masyarakat mampu. Selain itu, barang kebutuhan pokok, seperti beras, daging, dan susu, tetap bebas PPN.

Pemerintah telah mengantisipasi dampak kenaikan ini dengan memberikan berbagai stimulus. Yaitu subsidi listrik 50% untuk rumah tangga dengan daya ≤2200 VA selama dua bulan. Kedua, bantuan beras 10 kg untuk 16 juta penerima manfaat. Ketiga, perpanjangan insentif pajak bagi Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM).

Kini, dengan peningkatan PPN menjadi 12% di Indonesia pada 2025, di mana inflasi saat ini berada di 1,6%, kenaikan PPN ke 12% adalah 0,2%, dan inflasi akan tetap dijaga rendah sesuai target APBN 2025 di 1,5%-3,5%, dampak terhadap daya beli masyarakat akan terjadi berdasarkan kategori ekonomi.

Bagi masyarakat berpenghasilan tinggi, peningkatan tarif PPN difokuskan pada barang dan jasa kategori mewah, seperti makanan premium (wagyu, salmon), pendidikan internasional, layanan kesehatan VIP, dan listrik di atas 3.500 VA.

Konsumsi barang mewah akan menjadi lebih mahal sehingga dapat sedikit mengurangi pengeluaran kelas atas untuk barang-barang ini. Namun demikian, masyarakat berpenghasilan tinggi memiliki kemampuan finansial yang lebih baik untuk menyerap kenaikan pajak tanpa terlalu berdampak signifikan pada daya beli mereka secara keseluruhan.

Sementara bagi masyarakat kelas menengah, barang-barang non-mewah tetap dikenakan PPN 11%, sehingga tidak langsung terpengaruh. Namun, beban tambahan mungkin muncul pada barang-barang yang menjadi kebutuhan tetapi masuk kategori "mewah".

Sektor pendidikan dan kesehatan yang berstandar internasional atau premium dapat memengaruhi keluarga kelas menengah yang mengakses layanan tersebut. Konsumsi kelas menengah mungkin akan melambat karena mereka akan lebih berhati-hati dalam pengeluaran. Subsidi seperti diskon listrik 50% untuk daya hingga 2.200 VA dan bantuan lain diharapkan mampu menahan dampak terhadap daya beli.

Lalu bagi masyarakat berpenghasilan rendah, barang kebutuhan pokok seperti beras, daging, ikan, sayur, dan layanan dasar (kesehatan, pendidikan) tetap dibebaskan dari PPN.

Lebih lanjut, stimulus tambahan, seperti bantuan pangan 10 kg beras untuk 16 juta penerima bantuan, subsidi PPN 1% untuk minyak goreng bersubsidi, dan diskon listrik, memberikan perlindungan daya beli.

Daya beli masyarakat berpenghasilan rendah diperkirakan tetap stabil, terutama karena barang-barang yang dikonsumsi utama tidak terkena kenaikan PPN.

Khusus bagi para konsumen, ekonom Josua Pardede memberikan saran dalam menyikapi PPN 12% yaitu:

1.         Pahami barang yang terkena kenaikan PPN: sebagai konsumen, tidak semua barang dan jasa akan terdampak. Fokuskan belanja pada kebutuhan pokok yang bebas PPN.

2.         Manfaatkan insentif pemerintah: Jika Anda termasuk dalam kelompok penerima manfaat bantuan pangan atau subsidi listrik, pastikan memanfaatkan fasilitas tersebut.

3.         Dengan adanya kenaikan PPN pada barang mewah, penting untuk mempertimbangkan ulang prioritas pengeluaran, terutama jika barang mewah tidak mendesak.

4.         Dengan perubahan tarif pajak, masyarakat bisa mulai mempertimbangkan opsi investasi atau tabungan yang lebih strategis untuk mengelola keuangan rumah tangga.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI