Suara.com - Protes dan boikot global terhadap McDonald’s, jaringan restoran cepat saji asal Amerika Serikat, terus berlanjut dan berdampak pada keuangan perusahaan serta mitra pengelola waralaba di berbagai negara, termasuk Indonesia.
Laporan dari beberapa media internasional pada akhir Oktober mengindikasikan bahwa penjualan McDonald’s mengalami penurunan selama dua kuartal berturut-turut, yang merupakan penurunan terburuk sejak krisis Covid-19 pada tahun 2020, di tengah meningkatnya gerakan boikot dan protes di Eropa serta negara-negara Muslim.
McDonald’s menjadi target boikot karena dianggap memiliki hubungan bisnis yang erat dan aktif mendukung agresi Israel terhadap Gaza.
Selain McDonald’s, merek-merek internasional lainnya seperti Starbucks, Coca-Cola, Unilever, Danone, dan KFC juga menjadi sasaran boikot.
Menurut BDS Indonesia, perwakilan gerakan Boikot, Divestasi, dan Sanksi di Indonesia, McDonald’s menjadi fokus utama boikot karena perusahaan tersebut memberikan layanan kepada militer Israel.
"Hal ini secara langsung berkontribusi pada dukungan terhadap genosida," ungkap organisasi tersebut dalam sebuah cuitan di media sosial X (dulu Twitter) pada bulan Juli, merujuk pada lebih dari 45.000 warga sipil yang tewas akibat agresi Israel sejak Oktober 2023.
Alasan lain yang disampaikan BDS Indonesia adalah bahwa McDonald’s diketahui melakukan investasi besar untuk mendukung perekonomian Israel.
Menurut laporan dari surat kabar Inggris, The Independent (29/10), McDonald’s memiliki 225 restoran di Israel dengan total 5.000 karyawan. Waralaba ini sebelumnya dikelola oleh sebuah konsorsium bisnis Israel sebelum akhirnya dibeli kembali oleh McDonald’s dan masih beroperasi hingga saat ini.
Dampak pada Sosro
Di Indonesia, Rekso Group, yang dikenal dengan produk ikonik Teh Botol Sosro, juga merasakan dampak sejak gerakan boikot terhadap Israel dan produk pro-Israel mulai marak lebih dari setahun yang lalu. Beberapa gerai McDonald’s di Indonesia dilaporkan telah tutup.