“Ibnu Sutowo waktu itu lebih berkuasa dari Pak Harto, waktu itu. Dalam masalah uang. Beneran, saya gak bohong,” ungkap Djiwandono, dalam kanal Kuliah Umum FEB UI via Youtube, seperti yang dikutip pada Jumat (22/11/2024).
"Kita gak tahu, berapa uang yang berasal dari minyak itu," sambung Djiwandono.
Menurut laporan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (1975), dominasi Pertamina menciptakan tantangan besar bagi transparansi keuangan negara. Pengelolaan yang tidak terkontrol menyebabkan akumulasi utang besar-besaran yang memengaruhi stabilitas ekonomi nasional. Studi oleh McCawley (1978) mencatat bahwa utang Pertamina pada 1970-an mencapai USD 10,5 miliar, yang menjadi krisis likuiditas nasional.
Hingga kini, Ibnu Sutowo masih dianggap sebagai salah satu sosok yang kontroversial karena menunjukkan bagaimana kekuasaan yang terpusat pada satu institusi hingga menimbulkan risiko besar bagi ekonomi negara.
Selain itu, minimnya pengawasan terhadap pengelolaan pendapatan minyak mengakibatkan krisis yang seharusnya dapat dicegah. Menurut Hill (2000), kasus ini menekankan pentingnya tata kelola yang baik (good governance) dalam perusahaan milik negara.
Djiwandono juga menyoroti peran teknokrat seperti Widjojo Nitisastro dalam mengatasi tantangan tersebut. Dengan kebijakan berbasis data dan pendekatan pragmatis, Widjojo dan timnya mampu mengarahkan perekonomian Indonesia keluar dari situasi sulit.
Pemaparan Soedradjad Djiwandono tentang era Soeharto memberikan wawasan berharga mengenai kompleksitas pengelolaan ekonomi nasional, khususnya di sektor minyak. Kasus Pertamina di bawah Ibnu Sutowo menjadi pelajaran penting tentang perlunya transparansi dan akuntabilitas dalam pengelolaan sumber daya negara. Selain itu, keberhasilan teknokrat seperti Widjojo Nitisastro menunjukkan pentingnya kepemimpinan berbasis data dan analisis dalam mengatasi tantangan ekonomi nasional.