Suara.com - Sidang kasus korupsi tata niaga timah dengan terdakwa Helena Liem dan Mochtar Riza Pahlevi kembali digelar di Pengadilan Negeri Tipikor Jakarta pada Rabu, 20 November 2024.
Salah satu saksi yang memberikan keterangan adalah Elly Rebuin, seorang aktivis lingkungan dan tokoh Bangka Belitung (Babel).
Dalam kesaksiannya, Elly menyoroti dampak kerugian ekonomi yang dialami Babel akibat konflik tata niaga timah.
Elly menyoroti ketimpangan besar antara pendapatan yang diperoleh PT Timah Tbk dengan perhitungan kerusakan lingkungan yang disampaikan oleh saksi ahli sebelumnya. Berdasarkan data yang dipaparkannya, produksi logam timah PT Timah Tbk dari 2015 hingga 2022 mencapai 283.257 ton, dengan total pendapatan sebesar Rp82,7 triliun.
Baca Juga: Pengangguran Meningkat, Menaker Mau Buat Job Fair Setiap Minggu
Namun, angka kerusakan lingkungan yang dihitung oleh ahli disebut mencapai Rp271 triliun.
"Angka ini sangat tidak masuk akal. Perhitungan kerugian lingkungan yang disajikan tidak jelas metodenya, mencampurkan biaya reklamasi dan kerusakan, serta tidak sesuai dengan objek tambang atau izin yang dihitung," ujar Elly seperti dikutip, Kamis (21/11/2024).
Elly mengungkapkan dampak besar kasus tata niaga timah terhadap ekonomi Babel. Timah, yang selama ini menjadi penggerak utama ekonomi Babel dengan kontribusi pertumbuhan ekonomi 6,85% sejak 2001, kini tidak lagi memberikan dampak positif.
Akibat kasus ini, pertumbuhan ekonomi Babel anjlok menjadi kurang dari 1% dan provinsi tersebut menjadi salah satu yang termiskin di Indonesia.
Menurut Badan Pusat Statistik (BPS) Babel, pertumbuhan ekonomi diproyeksikan hanya mencapai 0,2% pada 2025. Selain itu, Tingkat Pengangguran Terbuka (TPT) pada Agustus 2024 meningkat menjadi 4,63%, naik 0,07 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Baca Juga: Kasus Timah, Transaksi Bisnis BUMN Rentan Disalahartikan sebagai Korupsi
Bahkan, pekerja paruh waktu mengalami penurunan, mencerminkan kondisi pasar tenaga kerja yang semakin lesu.
Elly juga menyatakan bahwa konflik dalam tata niaga timah telah membuat masyarakat Bangka Belitung menjadi penonton di rumah sendiri. Banyak warga yang kehilangan akses terhadap sumber daya ekonomi mereka, sementara pertambangan ilegal semakin menambah kerusakan lingkungan tanpa solusi konkret dari pemerintah daerah dan pemangku kebijakan terkait.
"Masyarakat sudah tahu harga timah di pasar dunia, dan mereka tidak bisa lagi dibohongi. Mereka ingin hidup makmur dan rukun, tapi apa yang terjadi sekarang justru sebaliknya," kata
Elly meminta pemerintah dan pihak terkait untuk segera mengambil langkah konkret, termasuk memperbaiki tata kelola timah, menegakkan hukum secara adil, dan memulihkan ekonomi Babel. Ia menegaskan bahwa Babel membutuhkan kebijakan yang mengutamakan kesejahteraan masyarakat dan keberlanjutan lingkungan.
"Timah adalah panglima ekonomi Babel. Jika ini tidak segera diselesaikan, Babel hanya akan terus terpuruk, kehilangan identitas sebagai provinsi yang dulu tumbuh paling cepat di Sumatera," pungkas dia.
Dampak kasus tata niaga timah ini tidak hanya merugikan lingkungan, tetapi juga membawa provinsi Babel ke ambang krisis ekonomi dan sosial yang serius. Kini, harapan masyarakat Babel bertumpu pada solusi yang segera dan terintegrasi dari pemerintah serta pemangku kepentingan lainnya.