Suara.com - Polemik Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes) masih berlangsung. Terbaru, berbagai pemangku kepentingan di industri tembakau masih menyatakan tidak dilibatkan dalam perumusan kebijakan tersebut.
Ketua Umum Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (GAPPRI), Henry Najoan menyoroti, kurangnya keterlibatan pihak industri tembakau dalam perumusan kebijakan PP 28/2024 dan Rancangan Permenkes yang diinisasi oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes).
Henry menegaskan rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek pada Rancangan Permenkes dirancang tidak dilakukan secara transparan dan tanpa melibatkan pelaku industri tembakau.
Lebih lanjut, dia mempertanyakan keakuratan serta validitas data yang digunakan Kemenkes dalam meramu kebijakan tersebut. "Padahal, jumlah pabrik rokok itu semakin menurun dan prevalensi perokok anak juga sudah turun, namun data ini tidak digunakan (oleh Kemenkes)," ujarnya di Jakarta, Kamis (21/11/2024).
Baca Juga: Tarif Cukai Rokok 2025 Tetap, Pemerintah Fokus Kendalikan Harga Rokok Murah
Henry menekankan bahwa pengawasan terhadap rencana penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek akan sulit dilakukan di lapangan. "Aturan ini hanya akan menambah beban aparat," kata dia.
Sementara, Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Ketenagakerjaan Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker), Indah Putri Anggoro, menjelaskan, pihaknya paham betul tentang adanya ketidakseimbnagan antara aspek kesehatan dan aspek ekonomi yang terjadi dalam kebijakan PP 28/2024 maupun Rancangan Permenkes.
Indah menilai kebijakan ini berisiko menimbulkan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) besar-besaran. Data Kemnaker menunjukkan, hingga saat ini setidaknya sudah ada 63.000 pekerja yang terdampak PHK, bahkan bisa bertambah hingga 2,2 juta orang jika kebijakan ini diterapkan secara ketat.
"Ini bukan hanya soal cukai, tetapi dampaknya ke tenaga kerja di industri tembakau, termasuk industri kreatif yang mendukung ekonomi lokal. Belum lagi, sekitar 89% pekerja di industri tembakau ini adalah wanita, banyak di antaranya kepala keluarga dengan tingkat pendidikan rendah," beber dia.
Indah juga mengingatkan bahwa efek sosial dari PHK di sektor ini dapat memicu kriminalitas dan dampak sosial lain yang meresahkan. Ia mengungkapkan pentingnya pemerintah dan DPR untuk berperan aktif dalam mitigasi dampak yang timbul. "Multiplier effect PHK ini besar, dari tukang ojek hingga warung kopi ikut terkena dampaknya," kata dia.
Baca Juga: IKF BCA Jadi Ajang Pertukaran Ide Bisnis dari Para Pengusaha
Menanggapi tidak adanya pelibatan pemangku kepentingan di industri tembakau serta Kemnaker dalam Rancangan Permenkes, Anggota Komisi IX DPR RI dari Fraksi NasDem, Nurhadi, menyatakan keprihatinannya. Ia mengaku terkejut, bahwa pembahasan perumusan beleid selama ini tidak melibatkan pihak terkait dan Kemnaker.
"Ini menunjukkan bahwa Kemenkes seolah bekerja sendiri tanpa mempertimbangkan dampaknya ke tenaga kerja," imbuh dia..
Nurhadi turut menekankan bahwa sebelumnya, Menteri Kesehatan, Budi Gunadi Sadikin, telah menyampaikan jika Rancangan Permenkes diputuskan untuk ditunda.
"Tapi, kenapa kegaduhan ini masih terjadi? Apakah jajaran Kemenkes tidak satu komando dengan pimpinan? Ini perlu diklarifikasi dengan jajaran di bawah Menteri Kesehatan," pungkasnya.