Kenaikan PPN 12% Jadi Nestapa Kelas Menengah, Orang Kaya Sulit Dipajaki?

M Nurhadi Suara.Com
Senin, 18 November 2024 | 17:56 WIB
Kenaikan PPN 12% Jadi Nestapa Kelas Menengah, Orang Kaya Sulit Dipajaki?
Ilustrasi kelas menengah (Unsplash/Andy Al Mesura)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Keputusan pemerintah untuk menaikkan PPN menjadi 12% banyak disorot berbagai pihak. Pasalnya, kebijakan ini dianggap semakin membuat kelas menengah tertekan. Terlebih lagi, kalangan menengah jarang tersentuh subsidi atau bantuan.

Alih – alih memajaki orang super kaya, pemerintah justru dianggap makin menekan kelas menengah dengan menaikkan PPN, yang akan berimbas pada kenaikan harga barang.

Menurut Lina Mufidah, melalui Sharia Economic Forum UGM menyebut, pemerintah memang telah mengeluarkan sejumlah regulasi fiskal untuk menjaga pemasukan negara di tengah pandemi Covid-19. Namun, satu yang dianggap luput adalah negara absen dalam menggencarkan pengenaan pajak bagi orang – orang kaya di Indonesia.

Berdasarkan data yang dirilis oleh Forbes, kekayaan orang-orang terkaya di Indonesia terus mengalami peningkatan dari tahun ke tahun.

Baca Juga: PPN Naik Lagi? Cek Penjelasan dan Daftar Barang Jasa yang Bebas Pajak!

Forbes pada 2019 mencatat aset bersih 50 orang terkaya Indonesia mencetak rekor baru dengan total kekayaan USD134,6 miliar atau naik USD5,6 miliar dari tahun lalu. Namun, berdasarkan data Ditjen Pajak tahun 2017, kontribusi konglomerat ini hanya sebesar 0,8% dari total penerimaan pajak Indonesia.

Dari data PPh yang selama ini tersedia untuk mengukur besaran pajak orang kaya, dapat dilihat terjadinya ketidakadilan bagi para pekerja kelas menengah yang menyumbangkan PPh sebesar 21,79%, sementara kontribusi pajak konglomerat kurang dari 1%.

Padahal, menurut Kristiaji, peneliti perpajakan DDTC Fiscal Research, di banyak negara, kontribusi para konglomerat dapat mencapai 30-40% kepada pemasukan pajak atau paling tidak melalui PPh.

Kesenjangan ini juga menunjukkan masih belum terwujudnya asas keadilan dalam perpajakan di Indonesia, yang sejatinya, pajak berfungsi sebagai redistribusi pendapatan dari masyarakat dengan pendapatan tinggi kepada masyarakat yang berpendapatan lebih rendah.

Rendahnya kontribusi pajak orang-orang kaya disebabkan oleh kepatuhan. Berbeda dengan karyawan dan PNS yang gajinya akan langsung dipotong pajak, pembayaran pajak oleh konglomerat ini membutuhkan kesadaran pribadi masing-masing.

Baca Juga: PPN Naik 12 Persen, Netizen Ramai-ramai Ajak Boikot Pemerintah Lewat Frugal Living

Hal ini diperparah dengan sikap pemerintah yang tidak memberikan perhatian khusus dalam mengejar pemungutan pajak bagi para konglomerat.

Sebagai informasi, di Indonesia, tidak ada pajak kekayaan yang secara khusus dikenakan kepada individu kaya. Pajak yang berlaku bagi mereka adalah Pajak Penghasilan (PPh) Pasal 25 dan 29, yang merupakan pajak untuk non-karyawan, khususnya bagi pemilik usaha dan pekerja lepas.

Menurut data dari Direktorat Jenderal Pajak, PPh 25 dikenakan berdasarkan penghasilan yang diperoleh selama tahun fiskal, sedangkan PPh 29 adalah pajak tambahan yang dibayarkan jika pajak terutang lebih besar dari yang telah dibayar sebelumnya.

Sementara itu, pajak atas kekayaan di Indonesia terdiri dari beberapa jenis, seperti Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) yang dikenakan saat kekayaan berupa tanah dan bangunan dimiliki.

Selain itu, ada juga pajak ketika suatu aset dijual dan menghasilkan nilai tambah. Namun, tidak semua transaksi di Indonesia dikenakan pajak capital gain; banyak yang masih bersifat final tax. Hal ini berarti bahwa pajak tersebut sudah dianggap selesai pada saat pembayaran dan tidak perlu dilaporkan lebih lanjut.

Meskipun tidak ada pajak kekayaan khusus di Indonesia, potensi besar dari pemasukan pajak dari konglomerat seharusnya tidak diabaikan oleh pemerintah. Jika hanya mengandalkan PPh saja, kontribusi pajak dari konglomerat bisa jauh lebih besar dibandingkan dengan wajib pajak biasa.

Sebagai gambaran, satu orang kaya mungkin membayar pajak setara dengan lima wajib pajak biasa, sehingga akumulasi totalnya dapat memberikan dampak signifikan bagi pendapatan negara.

Berdasarkan laporan Kementerian Keuangan Republik Indonesia, total penerimaan pajak pada tahun 2023 mencapai Rp1.500 triliun, di mana kontribusi dari sektor korporasi dan individu kaya sangat penting dalam mencapai target tersebut.

Sementara, menurut penelitian oleh Institute for Fiscal Studies menunjukkan bahwa peningkatan kepatuhan pajak di kalangan konglomerat dapat meningkatkan pendapatan negara hingga 20% (IFS, 2023). Ini menunjukkan bahwa ada potensi besar untuk meningkatkan penerimaan negara melalui kebijakan perpajakan yang lebih efektif.

Dengan demikian, meskipun saat ini tidak ada pajak kekayaan secara spesifik di Indonesia, pemerintah harus mempertimbangkan cara untuk memaksimalkan potensi pendapatan dari para konglomerat melalui peningkatan administrasi perpajakan dan kepatuhan individu.

Kontributor : Nadia Lutfiana Mawarni

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI