Suara.com - Kasus kepailitan PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex) terus berbuntut panjang. Kali ini, PT Bank Negara Indonesia (BNI) menjadi salah satu pihak yang paling terdampak.
BNI menjadi satu-satunya bank plat merah yang terancam kerugian hingga Rp374 miliar akibat utang macet yang belum terbayar oleh Sritex.
Kepailitan Sritex ini menyoroti risiko kredit yang dihadapi perbankan, terutama saat memberikan pinjaman kepada perusahaan besar. BNI sendiri telah menyatakan akan terus berupaya menagih utang tersebut dan telah melakukan berbagai upaya penagihan.
Namun, prospek pemulihan utang ini masih belum jelas mengingat kondisi keuangan Sritex yang semakin memburuk, bahkan perseroan sendiri mengancam akan melakukan PHK jika pemerintah tidak turun tangan membantu perusahaan tekstil tersebut.
Baca Juga: 3 Kerugian Timnas Indonesia Pecat Shin Tae-yong, Nomor 2 Dampaknya Luar Biasa
Direktur Utama BNI Royke Tumilaar mengatakan mengatakan bahwa pihaknya terus melakukan koordinasi dengan pemerintah dalam hal ini Kementerian Koordinator Bidang Perekonomian guna mencari solusi terbaik atas kondisi ini.
Saat ini kata Royke uji kelayakan atau due diligence terhadap Sritex penting untuk dilakukan agar mengetahui seberapa jauh keberlangsungan usaha Sritex kedepannya.
Asetnya bisa berproduksi optimal nggak, bisa balikin utang nggak dan harus dilihat nilai asetnya mesin-mesinnya apakah masih bisa berproduksi dengan normal," kata Royke di Gedung DPR RI, Rabu (13/11/2024).
Meski demikian Royke terlihat pasrah dengan kondisi Sritex saat ini, pihaknya hanya menunggu dan mengikuti arahan dan koordinasi dari pemerintah.
BNI sendiri sebagai salah satu kreditur utama Sritex memiliki eksposur yang signifikan terhadap perusahaan tekstil tersebut. Nilai tagihan utang bank plat merah itu kepada Sritex mencapai US$23,807,151 atau sekitar Rp374.809.072.126.
Baca Juga: "Gali Lubang Tutup Lubang", Cara Sri Mulyani Bayar Utang Jatuh Tempo Rp800 T di 2025
Corporate Secretary BNI Okki Rushartomo mengatakan pihaknya bakal terus memantau perkembangannya dan berkoordinasi dengan pemerintah, khususnya Kementerian BUMN dan Kementerian Keuangan untuk membahas langkah-langkah selanjutnya.
"BNI betul memiliki fasilitas kredit yang diberikan ke Golden Mountain melalui kantor luar negeri Singapura," kata Okki.
Utang tersebut berasal dari fasilitas kredit yang diberikan kepada anak perusahaan Sritex, Golden Mountain Textile and Trading Pte. Ltd di Singapura.
Fasilitas kredit tersebut diberikan berdasarkan perjanjian pada tahun 2018 dengan utang jangka pendek sebesar US$2.367.087 dan jatuh tempo pada 3 September 2019. Sayangnya Sritex tidak bisa melunasi utang tersebut.
Berdasarkan perjanjian kredit Nomor SNG/CACPC/052/19 yang ditandatangani pada 9 Desember 2019, Sritex dianggap telah melanggar sejumlah financial covenant atau klausul.
Salah satu covenant yang dilanggar adalah terkait tak mampunya Sritex membayar utang sesuai jatuh tempo.
Kondisi keuangan Sritex kala itu memang sedang sulit, dimana emiten dengan sandi SRIL ini kembali meminta perpanjangan pinjaman satu tahun kepada BNI hingga jatuh tempo pada 3 September 2020. Namun, melalui surat No. SNG/CACPC/032/2020 tanggal 19 November 2020, SRIL lagi-lagi kembali mengalami gagal bayar dan meminta jangka waktu pinjaman diperpanjang hingga 3 September 2021.
Data keuangan menunjukkan bahwa saldo utang Sritex kepada BNI terus meningkat. Pada akhir tahun 2019, saldo utang tercatat sebesar US$6.258.848, dan pada akhir tahun 2020 melonjak menjadi US$12.169.960.
Pada 2021 jumlah utang jangka pendek Sritex ke BNI kian membengkak hingga mencatatkan saldo mencapai US$23.805.081. Kondisi keuangan Sritex kian kacau balau karena adanya tuntutan PKPU hingga akhirnya perseroan putar otak dengan melakukan Secured Term Loan dengan jangka waktu 9 tahun. Selain itu SRIL melakukan fasilitas Unsecured Term Loan selama 12 tahun terhadap jumlah utangnya termasuk ke BNI.
Alhasil utang BNI yang tadinya jangka pendek statusnya berubah menjadi utang jangka panjang hingga mencapai US$23,807,151 atau sekitar Rp374.809.072.126 hingga Juni 2024 ini.
Tak mau nama BNI tercoreng akibat kredit macet ini, kuasa hukum BNI, Yudhi Wibhisana mengajukan usul pembentukan Panitia Kreditor Sementara yang tujuannya membantu kelancaran tugas kurator sampai dengan tanggal Rapat Pencocokan Piutang.
“Panitia kreditor sementara ini penting dibentuk untuk menjaga agar kurator tetap menjalankan prinsip independensinya, transparan, dan profesional. Jangan sampai akuntabilitas kurator dalam menjalankan tugasnya dipertaruhkan," katanya dikutip Kamis (14/11/2024).
Menurutnya, kasus kepailitan Sritex ini memperoleh atensi publik yang sangat besar. Pemerintah pun memiliki perhatian serius untuk melindungi industri tekstil dalam negeri.
Terkait beberapa alasan tersebut, Kuasa Hukum BNI mengajukan permohonan pembentukan Panitia Kreditor Sementara kepada Pengadilan Niaga.
"Pada hari ini, kami ajukan permohonan penetapan pembentukan Panitia Kreditor Sementara kepada Pengadilan melalui Hakim Pengawas dan tembusannya kami sampaikan pula kepada tim kurator," pungkasnya.