Suara.com - PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), salah satu raksasa tekstil Indonesia, resmi dinyatakan pailit. Keputusan ini mengakhiri babak panjang perjuangan perusahaan dalam menghadapi tumpukan utang yang membengkak.
Lantas, bagaimana awal mula Sritex terjerat dalam utang sindikasi hingga akhirnya mengalami kejatuhan?
Perjalanan Sritex menuju jurang pailit dimulai pada tahun 2019. Saat itu, perusahaan diketahui mengambil utang sindikasi sebesar USD350 juta dolar AS atau setara Rp5,5 triliun. Utang ini diharapkan dapat mendongkrak kinerja perusahaan di tengah persaingan bisnis yang semakin ketat.
Perusahaan pada awal tahun 2019 mengumumkan telah menyelesaikan Pinjaman Sindikasi senilai USD350 juta dengan 29 bank dan lembaga keuangan lainnya pada tanggal 20 Maret 2019.
Baca Juga: Bank Ina Milik Konglomerat Salim Catat Kenaikan Kredit Macet Hampir 5%
Pinjaman tersebut, diatur dan dibantu oleh Citibank, DBS Bank dan HSBC sebagai Mandated Lead Arrangers dan Bookrunners ("MLABs"), pada awalnya ditandatangani dengan 3 MLAB pada 2 Jan 2019, dan kemudian bergabung dengan 26 institusi lain dalam sindikasi tersebut.
Kala itu emiten dengan sandi SRIL ini mengklaim pinjaman itu digunakan untuk mendanai pelaksanaan penawaran tender obligasi pada Januari 2019, di mana Sritex melakukan pembelian kembali awal atas sebagian dari obligasi USD yang jatuh tempo pada Juni 2021 dimana hal ini merupakan inisiatif manajemen yang
proaktif.
SRIL juga mengklaim bahwa pinjaman sindikasi ini lebih kompetitif dari segi biaya, dengan suku bunga yang lebih rendah pada waktu itu, sehingga akan membantu Perusahaan untuk mencapai penghematan biaya bunga dibandingkan obligasi USD yang kuponnya lebih tinggi.
Bagian yang tersisa dari Pinjaman Sindikasi USD350 juta digunakan untuk keperluan umum perusahaan termasuk pembiayaan kembali fasilitas bank bilateral tertentu yang pada awalnya digunakan untuk kebutuhan modal kerja.
Pinjaman Sindikasi USD350 juta diatur tanpa jaminan atau unsecured loan, yaitu tanpa jaminan yang diberikan kepada Pemberi Pinjaman. Bersamaan dengan Pinjaman Sindikasi, Sritex juga mengambil kesempatan untuk meminta bank-bank lain memperluas fasilitas bank bilateral untuk melepaskan semua jaminan.
Baca Juga: Putusan Pailit Berbuntut Panjang, Nasib Buruh Sritex Makin Tak Jelas
Dengan demikian, semua fasilitas kredit Sritex akan diperpanjang dengan tanpa jaminan, dibandingkan dengan situasi sebelumnya di mana sebagian besar fasilitas bank ada jaminan sementara obligasi tidak ada jaminan.
Namun, harapan tersebut pupus, kondisi keuangan Sritex justru kocar-kacir. Sejumlah faktor internal dan eksternal berkontribusi terhadap kesulitan Sritex dalam melunasi utang tersebut. Penurunan permintaan pasar, persaingan global, pandemi Covid-19 hingga serbuan produk tekstil impor yang jauh lebih murah membuat kas Sritex babak belur hingga diputus pailit.
Direktur Utama PT Sri Rejeki Isman Tbk (Sritex), Iwan Setiawan Lukminto menekankan bahwa keberlanjutan usaha atau going concern Sritex sangat bergantung pada keputusan kurator dan hakim pengawas yang memutuskan pailit.
Jika izin beroperasi kembali dikeluarkan, perusahaan berharap dapat berproduksi normal.
"Jadi ini ada proses going concern yang harus cepat diputuskan oleh hakim pengawas. Karena ini akan membantu kami dalam keberlanjutan (usaha)," kata Iwan dalam konfrensi persnya di Kantor Kemenaker Jakarta, Rabu (13/11/2024).
Saat ini kata Iwan, pihaknya terpaksa meliburkan 2.500 buruhnya karena perusahaan kekurangan bahan baku akibat putusan pailit.
Meski pihaknya meliburkan karyawannya, mereka masih tetap digaji. Namun, dia berharap agar proses administrasi yang tersendat ini bisa segera kembali seperti semula agar pekerja yang diliburkan bisa kembali bekerja dan operasional bisa kembali berjalan.
“Dan ini keberlangsungan usaha ini adalah pokok ya dalam menunggu bridging, dalam menunggu kasasi,” ujarnya.