Suara.com - Memperingati Hari Pahlawan Nasional, Ginting Institute yang didirikan oleh advokat korporat, keuangan, dan konsultan hukum pasar modal yang juga seorang kolektor seni Daniel Ginting bekerjasama dengan Galeri Zen 1 Jakarta menggelar pameran “Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku.”
Pameran ini dibuka oleh Maruarar Sirait, Menteri Perumahan dan Permukiman Republik Indonesia bertepatan dengan hari pahlawan yang dikenang oleh seluruh bangsa Indonesia.
Judul pameran ini diambil dari judul sketsa berjudul sama karya S. Sudjojono yang dibuat pada 1964 dan disinyalir merupakan inspirasi bagi karya berjudul “Mengatur Siasat” yang juga dibuat pada 1964, merupakan sebuah lukisan legendaris karya seniman yang biasa disapa dengan nama Djon itu.
Seperti yang tertera pada penjelasan mengenai sketsa Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku itu, lukisan “Mengatur Siasat” merupakan sebuah karya monumental dari S. Sudjojono yang kini menjadi salah satu aset seni bangsa Indonesia yang tersimpan di Istana Kepresidenan di Bogor.
Baca Juga: Strategi Pemerintahan Prabowo Sediakan Rumah Murah Buat Rakyat
Dikuratori oleh Rizki Zaelani, pameran di Galeri Zen 1 ini menampilkan karya-karya dari Andang Iskandar, Arafura, Chusin Setiadikara, Ida Bagus Purwa, Nuraeni Hendra Gunawan, Oco Santoso, Ronald Apriyan, S. Dwi Stya Acong, Teja Astawa, Toni Antonius, dan Ugo Untoro.
Oleh Rizki, para seniman diminta untuk merespon sketsa yang kini merupakan koleksi Daniel Ginting tersebut dan menuangkan interpretasi mereka atas makna pahlawan dan tanah air dalam konteks masa kini.
Hal yang menarik untuk diamati dalam sebuah pameran yang mendudukan sebuah karya seorang seniman seperti yang dilakukan dalam pameran ini adalah beragamnya pembacaan dan gaya tutur yang muncul dalam karya-karya para seniman peserta pameran. Dengan cara baca serta pendekatan teknik yang berbeda, interpretasi atas sketsa Sudjojono tersebut menjadi terasa amat majemuk.
Selain lukisan yang sebagian besar digunakan para seniman untuk mersepon sketsa S. Sudjojono itu, terdapat pula karya fotografi yang dicetak di atas bidang aluminium yang melihat tindakan kepahlawanan dan bela negara dari perspektif lingkungan dengan menyoal sampah yang telah menjadi isu global dan penanggulangannya kini telah menjadi salah satu agenda penting berbagai negara yang bahkan juga merambah pada persoalan keamanan dan geo politik dunia.
Sementara sebuah karya instalasi video juga diketengahkan oleh Arafura Media Designyang membuat 45 interpretasi gambar digital yang dapat dialami secara interaktif oleh para pengunjung.
Baca Juga: Pemerintah Usul Tenor KPR Bisa Selama 30 Tahun
“Kami ingin mengajak para pengunjung pameran untuk memahami dan mengalami secara langsung perspektif kami dalam menginterpretasi sketsa Pak Djon yang kuat sekali goresannya. Maka, kami pun mencoba menghadirkan serangkaian gambar yang akan selalu berbeda seturut posisi para pengunjung memindainya,” kata Pita Tjokronegoro, salah seorang desainer dari Arafura yang berbasis di Bandung.
Karya-karya lukisan lain yang juga cukup menarik perhatian adalah karya Chusin Setaidikara, Ronald Apriyan dan Ugo Untoro.
Dalam sambutannya sebelum meresmikan pameran, Maruarar Sirait menyampaikan apresiasinya atas gagasan penyelenggaraan pameran ini.
Menurutnya, pameran merupakan sebuah tahap penting tak hanya untuk memberi ruang bagi para seniman untuk membincangkan wacana dan pemikiran serta mendapat etalase untuk mempertemukan karya-karya mereka dengan publik pencinta seni juga para kolektor, melainkan juga sarana untuk meningkatkan apresiasi dan nilai ekonomi sebuah karya yang diciptakan oleh seorang seniman.
Berlatar profesi sebagai seorang pengusaha, Maruarar amat meyakini, ekosistem dan pasar seni yang sehat dan fair, akan berdampak baik bagi perkembangan seni rupa Indonesia.
Ia juga menyoroti tentang fakta bahwa seorang seniman cenderung berfokus pada perkembangan gagasan dan bagaimana menuangkannya dengan baik ke dalam karya dengan teknik dan pendekatan artistik yang mereka kuasai, namun kerap abai pada persoalan nilai ekonomi dari karya mereka.
Maka tak jarang, menurut Maruarar, ada seniman yang kurang beruntung dan terpaksa menjalani masa tua dalam kondisi yang memprihatinkan.
“Kondisi seperti itu, menjadi alasan utama mengapa seorang seniman harus memiliki support system yang bisa mengembangkan sisi ekonominya, entah itu pasangan, keluarga atau galeri, agar seniman bisa berfokus berkarya sebebasnya, sementara valuasi karyanya pun dapat terus meningkat di pasar seni,” kata Maruarar yang terlihat sempat berbelanja beberapa karya yang disukainya seusai membuka acara.
Selain pembukaan pameran “Indonesia Tanah Airku, Tanah Tumpah Darahku” yang mersepon karya S. Sudjono, terdapat pula sisipan acara yakni peresmian Yayasan Nuraeni Hendra Gunawan yang digagas pendiriannya oleh Daniel Ginting sebagai bentuk penghargaan atas karya-karya Hendra yang cukup banyak dikoleksinya.
Pendirian Yayasan tersebut, menurut Daniel juga merupakan sebuah upaya untuk membangun ekosistem yang dapat memberikan dukungan terhadap perkembangan kekaryaan sekaligus juga menjadi mitra untuk bertukar pikiran perihal soal-soal keuangan.
Lebih dari dua dekade menjadi kolektor seni, Daniel Ginting dan istrinya Quoriena telah memiliki pengalaman panjang dari interaksinya dengan para pemangku dunia seni rupa Indonesia mulai dari para seniman, kurator dan pengamat, para pemilik galeri serta sesame kolektor.
Dalam perjalanan panjang tersebut, baik Daniel maupun Quoriena menemukan banyak pengetahuan yang mengasah kematangan mereka membaca dan menilai berbagai dinamika yang terjadi dalam dunia seni rupa Indonesia.
Pengalaman-pengalaman tersebut menggerakkan mereka untuk juga menyumbang pemikiran dan dukungan yang lebih nyata dalam laku filantropi seperti yang salah satunya mereka tuangkan dalam pendiran yayasan seni.
Sebuah upaya yang diharapkan dapat memberi ruang berkembang lebih lapang dagi para seniman yang tengah berjuang menapaki perjalanan mereka meretas peluang dalam peta seni tak hanya di Indonesia tapi juga dunia.