Suara.com - Beragam aturan pembatasan produk tembakau yang menimbulkan polemik, seperti Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 2024 (PP 28/2024) dan Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (Rancangan Permenkes), kembali menjadi sorotan dan topik hangat di media sosial X/Twitter dengan tagar #KemenkesBikinPolemik bersamaan dengan kata kunci ‘Krisis Industri Tembakau’.
Pembahasan ini mencuat sebagai respons publik atas sikap pemerintah yang dirasa secara sepihak mendorong rancangan peraturan yang eksesif di sektor pertembakauan.
Padahal, tembakau merupakan salah satu komoditas strategis nasional, penyumbang penerimaan negara, serta penghidupan bagi jutaan masyarakat Indonesia.
Sejumlah unggahan mengungkapkan pernyataan sikap serikat pekerja tembakau yang terus menolak adanya penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek sebagai salah satu aturan dari Rancangan Permenkes, yang kerap menjadi topik hangat di publik akhir-akhir ini.
Baca Juga: Emiten Makanan Cepat Saji KFC Gigit Jari, Kini "Jagonya" Rugi
"Kalo dipikir-pikir #KemenkesBikinPolemik terus sih, aturan barunya bikin masyarakat makin tertekan aja. menurutku wajar aja klo serikat pekerja terus menolak penyeragaman kemasan ini. Beneran makin Krisis Industri Tembakau nih sih," tulis akun @alepyou_ yang mendapat ratusan interaksi dan lebih dari 9 ribu pembaca, seperti dikutip Kamis (7/11/2024).
Dalam suatu diskusi, serikat pekerja tembakau yang sebelumnya telah menolak keras Rancangan Permenkes dengan tegas menyatakan sikapnya untuk melapor kepada Presiden Prabowo Subianto apabila tidak dilibatkan pada pembahasan aturan tersebut.
Apalagi, saat ini industri nasional sedang tertekan dengan gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) yang tidak bisa dipandang sebelah mata.
"Kami menolak Rancangan Permenkes yang tidak dibahas bersama seluruh pihak-pihak yang terdampak," imbuh Ketua Umum Federasi Serikat Pekerja Rokok Tembakau Makanan dan Minuman - Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (FPS RTMM-SPSI) Sudarto.
Tidak hanya itu, aturan penyeragaman kemasan rokok tanpa identitas merek ini juga berpotensi menghilangkan pendapatan dari sektor tembakau hingga ratusan triliun. Hal ini juga diungkapkan dalam salah satu unggahan di media sosial terkait kemungkinan adanya kehilangan penerimaan ini.
Baca Juga: Target Ekonomi 8% Terancam? Kebijakan Kemasan Rokok Dinilai Bunuh Industri Tembakau
"Kenapa sih punya hobby menggerus rakyat kecil? aturan #KemenkesBikinPolemik terus sampai aturan barunya ini bisa hilangkan 308 triliun rupiah loh. Krisis Industri Tembakau makin menjadi kalo gini sih," tulis akun @beautifyuul dengan ratusan interaksi dan lebih dari 5 ribu pembaca.
Pernyataan ini ikut diterangkan oleh Head of Center of Industry, Trade and Investment Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Andry Satrio Nugroho bahwa aturan tersebut berdampak pada ekonomi Indonesia, termasuk dari sisi penerimaan negara.
"Jadi INDEF sudah melakukan perhitungan terkait dengan jika Rancangan Permenkes ini dilakukan, kurang lebih dampaknya sendiri itu ada Rp308 triliun, itu dari dampak ekonomi saja," katanya dalam diskusi yang sama.
Dari sisi penerimaan negara, Andry menyebut negara dapat kehilangan Rp160,6 triliun yang setara 7% dari penerimaan perpajakan. Beberapa tahun belakangan, pendapatan industri tembakau juga mengalami penurunan akibat kebijakan kenaikan tarif cukai hasil tembakau (CHT) yang terus meningkat setiap tahunnya.
Kemudian dari sisi tenaga kerja, Andry mengatakan akan ada sebanyak 2,29 juta tenaga kerja yang terdampak dan merujuk pada data tenaga kerja industri tembakau tahun 2019, angka tersebut setara dengan 32 persen yang terdampak.
Sebagai sektor yang berkontribusi besar bagi negara, Sekretaris Jenderal Asosiasi Petani Tembakau Indonesia (APTI) Kusnasi Mudi berpendapat status tembakau sebagai salah satu komoditas strategis nasional perlu dipertahankan.
Mudi mengatakan, pemerintah perlu merumuskan regulasi atau aturan yang tidak menekan industri tembakau agar sektor ini dapat terus berkontribusi secara maksimal.
Menurutnya aneh apabila sektor tembakau, yang merupakan sektor padat karya, terus diberikan tekanan regulasi di saat kontribusi tembakau masih menjadi salah satu penyokong terbesar bagi penerimaan negara dan penyerapan tenaga kerja.
"Berikan kekuatan kepada, khususnya petani tembakau dan industri hasil tembakau, dengan beberapa regulasi yang tentunya tidak memberatkan dan memberikan ruang napas bagi industri hasil tembakau dan petani tembakau," pungkasnya.