Suara.com - Soft Power Republik Rakyat Tiongkok (RRT), yang antara lain bermanifestasi dalam pendidikan, bahasa dan budaya populer, seringkali dianggap sebagai alat yang digunakan oleh Tiongkok untuk mengambil keuntungan dalam hubungannya dengan Indonesia. Salah satu dari keuntungan tersebut adalah potensi berkurangnya citra negatif RRT di Indonesia.
Pada sisi lain, orang-orang Indonesia yang pernah mengalami perjumpaan dengan instrument soft power RRT itu diyakini cenderung pula menyebarluaskan pandangan positif tentang negara itu, meski tidak semua yang terjadi di negara itu bernuansa positif.
Pandangan di atas seringkali dikemukakan oleh pihak-pihak yang mengkhawatirkan kehadiran soft power RRT yang memang makin meningkat di Asia Tenggara, termasuk di Indonesia sejak awal abad ke-21 ini.
Pihak-pihak tersebut beranggapan bahwa pemerintah dan masyarakat Indonesia sebaiknya menyadari adanya dampak dari kehadiran soft power RRT itu, serta mengetahui bagaimana mengembangkan strategi yang bijaksana untuk meresponsnya.
Meski demikian, pakar Tiongkok dan Tionghoa terkemuka asal Singapura, Profesor Leo Suryadinata, Ph.D masih belum sepenuhnya setuju dengan pandangan yang menganggap soft power RRT memiliki pengaruh besar di negara-negara Asia Tenggara.
Menurut beliau, hingga saat ini, soft power RRT di Asia Tenggara dan Indonesia masih belum terukur dampaknya. Oleh karenanya, masih diperlukan studi lebih lanjut mengenai dampak dan pengaruh dari peningkatan soft power RRT itu.
Pernyataan Prof. Leo Suryadinata disampaikan dalam seminar berjudul “Soft Power RRT Yang Sedang Bangkit dan Dampaknya Di Asia Tenggara Di Bidang Pendidikan Dan Budaya Populer,” yang diselenggarakan bersama oleh Jurusan Magister Ilmu Komunikasi (Mikom) Universitas Pelita Harapan (UPH) dan Forum Sinologi Indonesia (FSI).
Selain Prof. Leo Suryadinata sebagai pembicara utama, hadir pula dalam seminar tersebut dekan Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) UPH Prof Edwin Tambunan, Ph.D, dosen Jurusan Hubungan Internasional Universitas President yang juga Sekretaris FSI, Muhammad Farid, M.PA., dosen Mikom UPH Dr. Johanes Herlijanto sekaligus Ketua Forum Sinologi Indonesia yang bertindak sebagai moderator, dan ketua penyelenggara yang juga ketua program studi Mikom UPH, Dr. Benedictus A. Simangunsong.
Sebagai disampaikan oleh Prof. Leo Suryadinata dalam seminar di atas, istilah Soft Power sebenarnya telah banyak dibicarakan pada tahun 1980-an di Amerika Serikat.
Baca Juga: Akankah Trump dan Xi "Akur"? Pesan Perdamaian Tiongkok di Tengah Ketegangan Dagang
Menurut pakar sinologi yang saat ini menjadi Visiting Senior Fellow pada ISEAS Yusof Ishak Institute Singapura itu, pada awalnya konsep soft power tidak pernah diaplikasikan untuk membicarakan RRT, karena pada tahun tersebut RRT masih merupakan negara miskin.