Drama Bank Danamon vs BNI dalam Sengketa Penyitaan Aset PCI

Tim Liputan Bisnis Suara.Com
Kamis, 31 Oktober 2024 | 17:33 WIB
Drama Bank Danamon vs BNI dalam Sengketa Penyitaan Aset PCI
Ilustrasi hukum (Unsplash/Tingey Injury Law Firm)
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Kasus sengketa antara Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Danamon terkait sita eksekusi aset milik PT Power Clutch Indonesia (PCI) mencapai titik damai setelah melalui berbagai tahapan hukum.

Sengketa ini bermula dari permintaan Bank Danamon pada tahun 2022 untuk melakukan sita eksekusi terhadap jaminan kredit PCI yang disimpan di BNI. Jaminan tersebut telah diikat dengan Hak Tanggungan oleh BNI sejak 2011. Sita eksekusi diajukan ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan dengan nomor perkara 1041/Pdt.Bth/2023/PN Jkt.

Dalam gugatannya, BNI berusaha mempertahankan hak atas jaminan kredit PCI dengan alasan bahwa pengikatan jaminan yang dilakukan sejak 2011 memberikan kedudukan prioritas bagi BNI terhadap aset tersebut.

Kronologi sengketa tanah BNI vs Danamon ini bermula lantaran adanya peletakan sita eksekusi yang diajukan oleh Bank Danamon pada tahun 2022 terhadap jaminan kredit debitur, yakni PT Power Clutch Indonesia di BNI yang telah diikat secara dengan Hak Tanggungan sejak tahun 2011.

Baca Juga: Bongkar-Bongkaran Utang Sritex: 28 Bank Terjerat Jaring Utang Raksasa Tekstil

Padahal, merujuk pada JDIH Kemenkeu, Hak Tanggungan adalah hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditur-kreditur lain.

Jika debitur cidera janji, kreditor pemegang Hak Tanggungan berhak menjual melalui pelelangan umum tanah yang dijadikan jaminan menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang bersangkutan, dengan hak mendahulu daripada kreditor-kreditor yang -lain. Kedudukan diutamakan tersebut sudah barang tentu tidak mengurangi preferensi piutang-piutang Negara menurut ketentuan-ketentuan hukum yang berlaku.

Gugatan diajukan oleh BNI untuk menjunjung prinsip-prinsip hukum yang berlaku. Alasan lainnya, BNI ingin mempertahankan hak atas jaminan debitur bank pelat merah tersebut. Kabar terakhir menyebutkan, baik BNI maupun Danamon telah melakukan diskusi untuk menemukan penyelesaian atas kasus ini. 

MA juga menyatakan sah atas jaminan tanah yang diberikan oleh Power Clutch. Dengan penjamin atas nama Direktur Utama Handy Cahyadi. Ada dua bidang tanah masing-masing seluas 1.560 m2 dan 584 m2 yang terletak di Kabupaten Badung, Provinsi Bali.

Perselisihan antara Bank Negara Indonesia (BNI) dan Bank Danamon terkait eksekusi jaminan kredit PT Power Clutch Indonesia (PCI) membuka pertanyaan tentang praktik tata kelola dan kredibilitas institusi keuangan dalam menyelesaikan konflik aset.

Baca Juga: BNI Dukung Program Perbaikan Kualitas Udara Bersih di Indonesia

Kasus ini bermula dari langkah yang meminta Pengadilan Negeri Jakarta Selatan untuk melakukan sita eksekusi terhadap .

Munculnya permintaan eksekusi Bank Danamon terhadap jaminan yang dimiliki BNI atas aset PCI, yang telah diikat dengan Hak Tanggungan sejak 2011 menciptakan kesan bahwa koordinasi dan transparansi antar bank dalam penanganan kredit bermasalah masih sangat lemah.

Bagi publik, kasus ini seolah mengindikasikan bahwa proses hukum dan etika bisnis belum menjadi prioritas utama dalam penyelesaian sengketa komersial oleh bank besar. Dalam pernyataannya, BNI mengungkapkan bahwa mereka telah mengamankan hak jaminan kredit secara sah. Namun, dengan adanya tuntutan Bank Danamon, kredibilitas kedua bank dipertanyakan terkait pengelolaan aset yang melibatkan nilai kepercayaan nasabah.

Sementara itu, diskusi damai yang ditempuh kedua belah pihak akhirnya menutup kasus ini, tetapi tetap menyisakan kekhawatiran publik terkait integritas perbankan Indonesia.

Bagi masyarakat, konflik antara dua bank besar ini memperlihatkan bahwa penyelesaian damai bukanlah jawaban mutlak atas kelemahan sistem koordinasi kredit antarbank.

Alih-alih menjaga citra positif, ketidaksepakatan ini justru memunculkan kekhawatiran terhadap kerapuhan sistem perbankan yang ada dan memperlihatkan minimnya transparansi serta etika dalam bisnis.

Dengan demikian, kasus ini seharusnya menjadi momentum bagi otoritas keuangan untuk lebih memperketat regulasi, memastikan bahwa praktik tata kelola yang baik benar-benar diterapkan dalam penyelesaian konflik keuangan antar institusi besar.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI