Suara.com - Dalam persidangan kasus dugaan korupsi sektor timah, beberapa waktu lalu hadir sebagai saksi adalah Ahli Hukum Pertambangan dan Lingkungan, Ahmad Redi.
Dalam kesempatan tersebut, Ahmad Redi dimintai pandangan ahli sesuai kepakarannya perihal status timah yang ditransaksikan antara PT Timah dan penambang rakyat. Keterangan yang dimaksud diperlukan untuk membuktikan ada tidaknya kerugian negara dalam kasus yang tengah bergulir ini.
Mulanya, hakim bertanya apakah timah bisa diakui sebagai milik PT Timah sejak masih di dalam tanah, atau setelah ditambang dan dibeli PT Timah.
"Bisa dinyatakan bahwa itu (timah) punya PT Timah pada saat masih jadi kandungan atau setelah mau diekspor dengan catatan sudah membayar royalti?” tanya Hakim dalam persidangan tersebut dikutip Selasa (29/10/2024).
Dasar pertanyaan itu berawal dari adanya anggapan PT Timah membeli timah yang merupakan miliknya sendiri lantaran ditambang oleh penambang rakyat dari area yang masuk dalam wilayah Izin Usaha Pertambangan (IUP) PT Timah.
Menjawab pertanyaan tersebut, Ahmad Redi menjelaskan bawha timah yang ditambang oleh penambang rakyat bukanlah milik PT Timah.
"Di Undang-Undang Minerba pada Pasal 92 diatur peralihan kepemilikan mineral logam, sebut saja timah itu (kepemilikannya) sejak membayar royalti," terang dia.
Dengan demikian, ditegaskan bahwa timah yang masih dalam bentuk kandungan atau masih di dalam tanah belum menjadi milik PT Timah meski secara lokasi masuk dalam wilayah IUP PT Timah.
Ahmad Redi melanjutkan, agar bisa diakui sebagai milik PT Timah, maka timah harus sudah ditambang. Itupun, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa lahan yang menjadi area penambangan tidak tumpang tindih kepemilikan lahannya, tidak dalam penguasaan pihak lain dan tidak dalam sengketa atau harus sudah Clean and Clear.
"Setelah Kepmen 2015, IUP yang tidak tumpang tindih yang dapat diakui oleh negara. Dimana, tidak boleh menambang selama diatasnya belum CnC (clear and clear) sesuai Pasal 135," terang dia dalam sidang tersebut.