Suara.com - Masyarakat Indonesia dikejutkan dengan penemuan uang senilai hampir Rp 1 triliun dan 51 kilogram emas di kediaman mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar.
Pengamat Hukum dan pegiat antikorupsi Hardjuno Wiwoho menilai kejadian mengkonfirmasikan dunia hukum di Indonesia tengah mengalami krisis serius.
Hal ini sekaligus menjadi tantangan besar dalam penegakan integritas lembaga peradilan Indonesia.
“Ketika mantan pejabat peradilan ditemukan menyimpan uang dalam jumlah fantastis, ini tidak hanya menjadi peringatan, tetapi juga ancaman bagi kredibilitas sistem hukum kita. Ini adalah cerminan bahwa ada krisis serius dalam pengawasan dan akuntabilitas pada level tertinggi peradilan,” ujar Hardjuno ditulis Senin (28/10/2024).
Sebelumnya, Kejagung berhasil menemukan uang senilai hampir Rp 1 triliun dan 51 kilogram emas di kediaman mantan pejabat Mahkamah Agung (MA), Zarof Ricar.
Penggeledahan yang dilakukan di dua lokasi, yakni rumah Zarof di Senayan, Jakarta Selatan, dan penginapannya di Le Meridien Bali pada 24 Oktober 2024, terkait dugaan suap dalam vonis bebas Ronald Tannur.
“Yang pertama, ingin saya sampaikan, bahwa kami penyidik sebenarnya juga kaget. Tidak menduga di dalam rumah ada uang hampir Rp 1 triliun dan emas yang beratnya hampir 51 kilogram,” kata Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Pidana Khusus (Jampidsus), Abdul Qohar, Jumat (25/10).
Selain mata uang rupiah, Kejagung juga menemukan lima mata uang asing lainnya, termasuk dolar Hong Kong, euro, dolar Amerika Serikat, dan dolar Singapura yang jika dikonversikan, nilai keseluruhan uang yang diamankan mencapai Rp 920,9 miliar.
Kandidat Doktor Hukum dan Pembangunan dari Universitas Airlangga (Unair) ini menegaskan kasus ini mengungkap celah besar dalam sistem hukum yang seharusnya menjadi benteng terakhir keadilan di Indonesia.
“Saat uang sebesar itu ditemukan di rumah seorang mantan pejabat peradilan, ini tidak bisa dianggap hanya sebagai kasus perorangan. Ini adalah masalah sistemik yang mengindikasikan betapa lemahnya mekanisme kontrol internal di institusi peradilan,” tambahnya.
Penggeledahan dan temuan ini, menurut Hardjuno, dapat menjadi momentum untuk mendorong reformasi yang lebih mendalam.
Ia mengusulkan agar ada pengetatan pengawasan terhadap aset dan harta pejabat peradilan, serta transparansi yang lebih tinggi dalam pengelolaan kasus, terutama pada tahap kasasi yang sering melibatkan pejabat tinggi peradilan.
“Kita butuh reformasi yang tidak hanya memperketat aturan, tetapi juga mekanisme pengawasan yang memungkinkan setiap praktik korupsi terdeteksi lebih dini. Transparansi menjadi kebutuhan utama,” ujarnya.
Selain itu, Hardjuno menyarankan agar Kejagung dan lembaga penegak hukum lainnya berani mengambil langkah progresif dalam penegakan hukum terhadap pejabat tinggi peradilan yang terlibat dalam kasus seperti ini.
“Kasus ini harus menjadi peringatan keras bahwa tidak ada seorang pun yang kebal hukum, termasuk mereka yang seharusnya menegakkan hukum. Jika kita tidak bertindak tegas sekarang, maka kepercayaan publik terhadap peradilan akan semakin runtuh,” ungkap Hardjuno.
Dia juga menyoroti bahwa posisi Zarof sebagai produser film Sang Pengadil, yang baru-baru ini dirilis, hanya memperkuat ironi dalam kasus ini.
“Ketika seorang pejabat peradilan yang pernah memproduksi film berjudul Sang Pengadil justru terjerat dalam kasus suap, ini menjadi paradoks yang memalukan bagi lembaga peradilan kita,” imbuhnya.
Lebih lanjut, Hardjuno menekankan pentingnya independensi dan integritas dalam penegakan hukum agar sistem peradilan dapat bersih dari praktik-praktik kotor yang menciderai keadilan.
“Keberhasilan Kejagung dalam mengungkap kasus ini patut diapresiasi, namun ini baru permulaan. Reformasi hukum harus terus diperjuangkan, dan penegak hukum di semua level perlu diingatkan untuk tidak bermain-main dengan keadilan,” pungkasnya.