Suara.com - Presiden Prabowo Subianto wajib mendorong pembangunan infrastruktur gas bumi untuk mencapai target Swasembada Energi sebagaimana tertuang dalam Asta Cita poin kedua.
Upaya ini sekaligus untuk menghindari ancaman terjadinya ironi seperti dalam hasil studi Asean Center for Energy (ACE) yang menyebut Indonesia akan menjadi net importer gas alam pada 2030 dan 2040.
”Mau tidak mau memang pemerintah harus semakin gencar membangun infrastruktur gas bumi. Jika pemerintah gagal mengoptimalkan gas bumi dalam negeri meskipun ada cadangan gas besar, risikonya adalah kita akan impor,” ungkap Ketua Komite Investasi Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Moshe Rizal, dikutip Jumat (25/10/2024).
Moshe menegaskan bahwa kunci dari optimalisasi gas bumi di dalam negeri adalah, pertama, membangun infrastruktur penyalurannya. Sebab kehadiran infrastruktur yang lebih luas akan menciptakan peningkatan demand karena penggunaannya di masyarakat baik untuk konsumen industri, masyarakat, maupun transportasi akan lebih masif.
Baca Juga: Potret Para Menteri Kabinet Merah Putih Datang untuk Pendidikan Akmil di Magelang
Ketika hal itu terwujud maka proses eksplorasi dan eksploitasi terhadap sumber baru gas bumi akan semakin bergairah. Apalagi sifat dari produksi gas bumi didorong oleh permintaan atau dikenal dengan istilah demand driven.
”Kenapa tidak cari investor saja? Tidak mudah karena keekonomiannya kecil. Banyak investor yang tidak mau,” terangnya.
Sebagai contoh, Moshe menceritakan, proyek infrastruktur pipa Cirebon – Semarang (Cisem) sempat mangkrak selama 18 tahun sebelum akhirnya kini berjalan menggunakan dana APBN.
Maka Moshe berharap pemerintah harus sigap untuk mengambil peran. ”Apapun yang tidak menarik bagi investor (padahal bersifat urgent) harus diserap oleh APBN untuk dibangun. Ini penting untuk menyelesaikan masalah secara permanen, bukan hanya jangka pendek melalui subsidi,” terusnya.
Kedua, lanjut Moshe, penting bagi pemerintah untuk meningkatkan daya tarik investasi terhadap industri dan ekosistem serta mata rantai gas bumi. Supaya terwujud praktik yang berkelanjutan dan jangka panjang.
Baca Juga: Kamis Malam Nginap Bareng Menteri dan Wamen di Akmil, Jumat Pagi Prabowo Buka Retreat
Adapun tantangan terbesar dalam menciptakan daya tarik ini adalah terkait skema subsidi terutama pada program gas murah yang dikenal Harga Gas Bumi Tertentu (HGBT) sebagai salah satu faktor besar yang membuat nilai keekonomiannya semakin kecil. Situasi ini membuat investasi di hulu dan infrastruktur gas bumi menjadi semakin tidak menarik.
Program HGBT mematok harga jual gas bumi sebesar USD6 per MMBTU atau jauh di bawah harga rata-rata pasar. Negara menanggung selisih melalui subsidi dengan cara mengurangi jatah keuntungan pemerintah.
Akibatnya, seperti data yang dirilis Kementerian ESDM, tercatat kerugian negara dari program HGBT adalah sebesar Rp57,65 Triliun sampai semester 1 2023, terhitung sejak awal program ini dijalankan yaitu tahun 2020.
Moshe menilai bahwa akan lebih fundamental jika dana subsidinya digunakan untuk membangun infrastruktur gas bumi. ”Memang harus bertahap sedikit demi sedikit, subsidi dikurangi, biar dana tersebut dialokasikan untuk membangun infrastruktur,” tegasnya.
Sebab Pemerintah harus berpikir jangka panjang agar harga logistik dan penyaluran gas bisa lebih murah. ”Dan subsidi tidak permanen. Pemerintah harus menyediakan energi agar industri dapat tumbuh besar dan cepat secara jangka panjang. Bukan hanya memberikan subsidi yang bersifat jangka pendek,” imbuhnya.
Senada dengan Moshe, Kepala Ekonom Bank Permata, Josua Pardede, secara terpisah mengatakan optimalisasi gas bumi di dalam negeri adalah langkah strategis di tengah risiko geopolitik dan dinamika keuangan global. Supaya terhindar dari ketergantungan terhadap sumber energi impor.
Hal ini penting dijalankan supaya aktivitas ekonomi tidak rentan gangguan eksternal. ”Tanpa adanya kemandirian energi maka aktivitas ekonomi rentan terganggu, sejalan dengan volatilitas dari berbagai harga energi ke depan dan transmisi dampaknya ke perekonomian,” ungkapnya, kepada wartawan.
Jika dilihat dari potensi pasarnya, kata Josua, investasi di ekosistem gas bumi pada dasarnya bisa sangat menarik. Kuncinya ada pada pembangunan infrastruktur yang akan membuka potensi demand dari energi fosil paling bersih ini.
”Dengan besarnya pemintaan gas bumi dari industri manufaktur dan besarnya potensi permintaan gas pipa untuk penggunaan rumah tangga tentu menciptakan pasar yang menarik bagi swasta. Kami menilai pemerintah dapat memberikan berbagai insentif untuk dapat meningkatkan infrastruktur jaringan distribusi gas bumi,” ungkapnya.