Suara.com - Persidangan perkara pidana terhadap Kenny Wisha Sonda (KWS), penasihat hukum internal (in-house legal counsel) dari Energy Equity Epic (Sengkang) Pty Ltd (EEES), kini menjadi sorotan.
KWS didakwa terkait pemberian nasihat hukum yang diduga berujung pada penggelapan pendapatan PT Energi Maju Abadi (EMA), mitra EEES dalam join operasi Blok Migas Sengkang.
Dalam Instagram Live bertajuk “Ngobras Hukum” pada 4 September 2024, penasihat hukum KWS, Fredrik J. Pinakunary, menyatakan bahwa KWS tidak dapat dipidana karena KWS dilindungi hak imunitas advokat berdasarkan Pasal 16 UU Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat. Hak imunitas ini melindungi advokat dalam menjalankan tugasnya, termasuk dalam memberikan nasihat hukum.
Menanggapi hal tersebut, Dr. Chairul Huda, ahli hukum pidana dan dosen Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ), membantah klaim tersebut. Huda menjelaskan bahwa posisi legal counsel berbeda dengan advokat.
Baca Juga: Akusisi SECP, Chandra Asri Dukung Ketahanan Energi Nasional
“Seorang advokat bertindak berdasarkan surat kuasa, sementara legal counsel bekerja berdasarkan perjanjian kerja dengan perusahaan yang mempekerjakannya. Karena perbedaan ini, hak imunitas advokat tidak serta merta berlaku bagi seorang legal counsel,” ujar Huda dilansir WartaEkonomi.co.id, Selasa (22/10/2024).
Huda mengacu pada artikel "Hak Imunitas Advokat, Mutlak atau Tidak?" pada situs Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pengayoman Universitas Katolik Parahyangan. Dalam artikel tersebut disebutkan bahwa hak imunitas advokat hanya berlaku jika advokat bertindak dengan itikad baik. “Jika terbukti adanya itikad buruk, atau niat jahat (mens rea), maka hak imunitas advokat tidak akan melindungi tindakan tersebut,” ungkap Huda.
Dalam Nota Keberatan (Eksepsi) yang dibacakan oleh tim penasihat hukum KWS pada 3 September 2024, tim kuasa hukum KWS menyebutkan bahwa KWS sebagai legal counsel hanya menjalankan tugasnya di bawah perintah perusahaan dan tidak bertanggung jawab secara langsung.
Tidak sepakat dengan keterangan tersebut, Huda menegaskan bahwa baik legal counsel maupun advokat harus menjalankan profesinya dengan itikad baik dan analisa hukum yang mendalam dan apabila terbukti sebaliknya maka harus dapat dipertanggungjawabkan.
“Apabila nantinya di dalam persidangan tersebut terbukti bahwa nasihat hukum yang diberikan oleh KWS dianggap tidak sesuai dengan prinsip-prinsip ini dan memenuhi unsur tindak pidana yang didakwakan, maka tindakan dari KWS tersebut harus dipertanggungjawabkan.” kata Huda.
Baca Juga: ASDP-BPH Migas Jamin Distribusi BBM Subsidi Sektor Transportasi Tepat Sasaran
Pada 12 September 2024, jaksa menanggapi eksepsi dari penasihat hukum KWS, menyatakan bahwa KWS tidak hanya memberikan nasihat, tetapi juga menginstruksikan tindakan yang berujung pada penggelapan pendapatan. Dengan demikian, hak imunitas advokat yang diajukan sebagai pembelaan oleh tim kuasa hukum tidak relevan.
“Apabila dilihat dari dakwaan Jaksa, hemat saya bahwa posisi Kenny Wisha Sonda bukan sekadar sebagai in-house legal counsel pada umumnya, di mana digambarkan bahwa Kenny memiliki kewenangan untuk memberikan instruksi. Apabila terbukti bahwa pemberian advis yang diperbuat Kenny berbentuk sebagai instruksi, dan tidak mengikuti bentuk advis penasihat hukum pada umumnya yaitu terdapat disclaimer dan analisis hukum mendalam, patut diduga perbuatan tersebut menjadi bagian dan memiliki peran dalam pengambilan keputusan di Energy Equity Sengkang Pty Ltd. Oleh karena itu, tindakan tersebut dapat dianggap sebagai penyertaan dalam tindak pidana penggelapan, sehingga imunitas advokat yang diklaim tidak berlaku,” ucapnya.
Dalam dakwaan yang dibacakan Jaksa pada 27 Agustus 2024, disebutkan bahwa KWS mengirim email yang menginstruksikan penahanan distribusi pendapatan EMA. Sampai saat ini, isi email tersebut belum dijelaskan secara rinci di persidangan.
“Jika benar bahwa email tersebut berisikan instruksi dari KWS, menurut hemat saya, email tersebut menjadi bukti penting untuk membuktikan fakta materiil terkait peran serta KWS dalam penggelapan yang dituduhkan”. imbuh Huda.
Huda juga memberikan contoh kasus serupa, seperti penasihat hukum Setya Novanto (Setnov) dan Direktur Legal Bank Indonesia tahun 2008, di mana penasihat hukum dan individu yang menjabat dalam ruang lingkup pekerjaan memberikan advis hukum dapat dipidana karena tindakannya terbukti memenuhi unsur pidana. Dalam kasus-kasus ini, pemidanaan terjadi karena niat jahat atau mens rea terbukti, meskipun terdakwa berstatus sebagai penasihat hukum.
Menanggapi eksepsi tim kuasa hukum KWS yang menyatakan bahwa kasus ini adalah sengketa perdata antara EEES dan EMA serta terdakwa KWS tidak menikmati hasil tindak pidana yang didakwakan, Huda menegaskan bahwa proses hukum pidana dan perdata bisa berjalan bersamaan.
"Penegakan hukum pidana dapat dilakukan meskipun ada perjanjian arbitrase. Konsep ultimum remedium sering disalahartikan sebagai memprioritaskan penyelesaian perdata, namun sebenarnya hukum pidana tetap bisa diterapkan," tegasnya.
Huda juga menjelaskan bahwa “Kalau dakwaan dalam perkara ini disertai pasal penyertaan, dapat diambil makna bahwa tindakan dari semua terdakwa yang terlibat saling melengkapi unsur tindak pidana penggelapan. Selagi, tidak ada unsur pada Pasal 372 KUHP terkait penggelapan yang mengharuskan adanya tindakan aktif atau hasil dari tindak pidana yang dinikmati terdakwa.”
Posisi KWS di perusahaan juga menjadi sorotan dalam sidang. Dalam eksepsi, disebutkan bahwa KWS hanya bertugas memberikan nasihat hukum, bukan mengambil keputusan. Huda menanggapi “Jika bukti menunjukkan bahwa KWS berperan dalam keputusan perusahaan terkait pendapatan EMA, maka dakwaan jaksa dapat dibenarkan,” pungkasnya.