Suara.com - Dalam pidato terbarunya, Presiden Prabowo Subianto mengemukakan komitmen untuk pemenuhan hak atas pangan dan gizi.
Namun, Koordinator Nasional FIAN Indonesia, Marthin Hadiwinata menyebut sejumlah kontradiksi mencuat, menimbulkan pertanyaan mengenai implementasi dan keefektifan program yang diusung. Berikut ini lima kontradiksi yang dikemukakan Marthin.
Pengabaian Petani dan Nelayan: Meski menyebutkan peran petani dan nelayan, pidato tersebut tidak mencantumkan agenda konkret untuk perlindungan dan pengakuan terhadap produsen pangan, seperti reforma agraria dan dukungan sosial-ekonomi.
Proyek Food Estate: Presiden mengklaim pencapaian swasembada pangan melalui proyek Food Estate, namun proyek ini justru dinilai mengabaikan peran komunitas lokal dan berpotensi merusak sumber agraria, menjadikan petani dan nelayan tergeser oleh kepentingan korporasi.
Baca Juga: Fadli Zon Jadi Menteri Kebudayaan Didampingi Giring Nidji
Bantuan Makan Bergizi: Inisiatif memberikan makan bergizi gratis berisiko terjebak dalam praktik korupsi dan konflik kepentingan, tanpa adanya jaminan transparansi, apalagi pengembalian fungsi KPK sebagai lembaga independen.
Absen Hak Asasi Manusia: Pidato tersebut tidak menyinggung hak asasi manusia, termasuk hak atas pangan, menunjukkan kurangnya komitmen untuk melindungi kebutuhan dasar rakyat.
Kurangnya Pemahaman Kemiskinan: Gagasan mengenai kemiskinan dalam pidato ini dianggap tidak menyentuh akar masalah, yaitu pemiskinan struktural akibat kebijakan pembangunan yang lebih mengutamakan infrastruktur ketimbang hak ekonomi rakyat.
Marthin menilai bahwa pidato ini mencerminkan ketidakpahaman mendalam mengenai tantangan yang dihadapi dalam sektor pangan dan gizi.
Keberlanjutan dan kesejahteraan rakyat Indonesia di masa depan sangat bergantung pada tindakan nyata yang berfokus pada perlindungan hak-hak dasar ini.
Baca Juga: Dipanggil ke Istana, Prasetyo Hadi: Doakan Saja, Saya Siap Tugas Apapun