Penyerapan Tenaga Kerja Tunanetra di Sektor Formal Perlu Ditingkatkan, Ini Alasannya

Iwan Supriyatna Suara.Com
Jum'at, 04 Oktober 2024 | 18:43 WIB
Penyerapan Tenaga Kerja Tunanetra di Sektor Formal Perlu Ditingkatkan, Ini Alasannya
Penyandang tunanetra belajar membaca Al-Quran huruf braille di Masjid Agung Rangkasbitung, Lebak, Banten, Sabtu (28/12). [ANTARA FOTO/Muhammad Bagus Khoirunas]
Follow Suara.com untuk mendapatkan informasi terkini. Klik WhatsApp Channel & Google News

Suara.com - Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas beserta peraturan perundang-undangannya mengatur sistem kuota penerimaan tenaga kerja, yaitu sebesar 1% di perusahaan swasta dan 2% pada instansi pemerintah.

Namun, faktanya undang-undang tersebut belum diimplementasikan sebagaimana seharusnya. Data tahun 2023-dari Australia - Indonesia Disability Research and Advocacy Network (AIDRAN) menunjukkan bahwa penyandang tunanetra di Indonesia mencapai 1,5% dari total jumlah penduduk (sekitar 4 juta orang), tetapi hanya 1% dari total keseluruhan penyandang disabilitas yang bekerja di sektor formal.

Kondisi ini mendorong terlaksananya sebuah penelitian kolaboratif antara Filipina, Indonesia, dan Vietnam untuk mempelajari hal-hal yang menjadi faktor kesuksesan penyandang tunanetra yang sudah berhasil bekerja di sektor formal, agar kemudian faktor-faktor tersebut dapat diakselerasi melalui program yang direkomendasikan oleh hasil penelitian.

Lebih jauh lagi, penelitian ini juga mempelajari hal-hal yang menjadi hambatan bagi tenaga kerja tunanetra dan memberikan rekomendasi untuk menyikapi hambatan tersebut.

Baca Juga: Mensos dan Stafsus Presiden Bahas Upaya Indonesia Ramah Disabilitas

Penelitian dengan topik “Faktor Kunci Kesuksesan Tunanetra Bekerja di Sektor Formal” dilakukan oleh tiga lembaga yang melakukan pendampingan untuk para tunanetra, yaitu Mitra Netra (Indonesia), Resources of the Blind (Filipina), dan Sao Mai Center (Vietnam), serta didukung oleh The Nippon Foundation sebagai donor. 

“The Nippon Foundation mendukung penelitian ini untuk mengidentifikasi faktor internal dan eksternal yang menghambat penyandang disabilitas visual dalam mendapatkan kesempatan kerja, khususnya apa saja keberhasilan dan kegagalan hasil kerja melalui penelitian berbasis bukti, sehingga penyandang disabilitas visual dapat memperoleh akses kepada pekerjaan yang lebih aman setelah menyelesaikan pendidikan tinggi. Melalui penelitian ini, The Nippon Foundation berharap Yayasan Mitra Netra dan organisasi mitranya di Vietnam dan Filipina dapat mewujudkan mekanisme dukungan ketenagakerjaan yang berkelanjutan dan menjadi model bagi wilayah lain untuk mempromosikan ketenagakerjaan yang lebih inklusif," papar Yosuke Ishikawa, Direktur Program The Nippon Foundation.

Mitra penelitian dari Indonesia, yaitu Mitra Netra, berharap bahwa dari hasil penelitian, dukungan berbagai pihak untuk penyediaan lapangan kerja bagi tunanetra dapat terwujud dengan lebih baik, perusahaan-perusahaan swasta, BUMN dan BUMD serta lembaga pemerintah akan lebih proaktif dalam menyediakan kesempatan kerja bagi penyandang tunanetra, serta menciptakan lingkungan kerja yang inklusif.

Melalui penelitian ini, Indonesia juga belajar dari kemajuan yang telah dicapai oleh para tunanetra melalui dukungan kebijakan pemerintah dan sektor swasta di Filipina dan Vietnam.

“Keterlibatan Mitra Netra dalam proyek penelitian ini merupakan bentuk komitmen kami untuk memberdayakan dan mendukung tunanetra agar dapat hidup mandiri, cerdas, dan bermakna dalam masyarakat yang inklusif. Kami juga berharap, baik pemerintah pusat dan daerah, serta pemberi kerja dari sektor BUMN, BUMD, dan swasta dapat memanfaatkan hasil penelitian ini sebagai landasan untuk merumuskan kebijakan dan program yang lebih efektif, mendorong praktik inklusif di tempat kerja, serta meningkatkan kesadaran masyarakat tentang potensi tunanetra,” jelas Aria Indrawati, Kabag. Humas & Divisi Ketenagakerjaan Yayasan Mitra Netra.

Baca Juga: Iringi Pawai Obor Api PEPARNAS 2024, Aktor Augie Fantinus Kobarkan Semangat Kesetaraan

Penelitian yang berlangsung selama kurang lebih enam bulan telah melibatkan 196 responden tunanetra dari ketiga negara, dengan 73% responden adalah individu yang telah berhasil mendapatkan pekerjaan dan 27% responden adalah mereka yang belum bekerja, atau yang pernah bekerja sebelumnya.

Kelompok usia yang diteliti lebih dari 90% tenaga kerja penyandang tunanetra saat ini berusia di bawah 45 tahun, sementara itu lebih dari 50% merupakan pekerja yang berada pada kelompok usia 26–35 tahun.

Latar belakang responden yang sudah bekerja didominasi bidang pendidikan 28% (pengajar), bidang sosial 16% (termasuk di LSM), bidang administrasi 16%, keterampilan memijat dan fisioterapi 15%, bidang teknologi informasi 8%, dan bidang keuangan 3%.

Melalui survei, wawancara, dan Focussed Group Discussion (FGD), akhirnya didapatkan hasil yang memberikan gambaran akan faktor-faktor yang mendukung dan menghambat keberhasilan penyandang tunanetra di sektor ketenagakerjaan formal, baik yang bersifat internal maupun eksternal. 

Dari sisi gender, ditemukan tren positif mengenai kesetaraan akses pada semua sektor. Selama ini ada anggapan umum bahwa perempuan tunanetra mendapat akses yang lebih terbatas dibanding laki-laki tunanetra, namun pada penelitian tiga negara ini terdapat 40% dari mereka yang bekerja dan menunggu pekerjaan di antara peserta tunanetra adalah perempuan, sementara laki-laki 60%.

Data responden Indonesia juga tidak berbeda jauh, yaitu 64% laki-laki dan 36% perempuan. Tim peneliti dapat melihat bahwa semakin banyak perempuan tunanetra yang memasuki sektor pekerjaan formal dan kesadaran ini diprediksi akan menjadikan persentase tersebut terus bergerak menuju sama dengan laki-laki tunanetra dalam waktu dekat.

Penelitian juga menemukan fakta bahwa lembaga pendidikan saat ini telah menyediakan fasilitas pendidikan inklusi yang semakin baik, karena sebanyak 85% dari 196 responden yang mengenyam pendidikan, merupakan lulusan Strata Satu, 13% memiliki gelar Master, dan gelar Doktor dimiliki 2% lainnya.

Khusus untuk Indonesia, 76% berhasil mengenyam gelar Strata Satu, 22% memiliki gelar Master, dan 2% lainnya memiliki gelar Doktor. Kondisi ini dapat menunjang perkembangan ketenagakerjaan tunanetra.

Latar belakang pendidikan juga sangat mempengaruhi bidang pekerjaan yang dipilih atau mampu didapatkan oleh para pekerja tunanetra. Sebanyak 42% dari total responden memilih pendidikan humaniora yang di dalamnya termasuk ilmu psikologi, sosiologi, sejarah, bahasa, dll, kemudian sebesar 28% memilih ilmu pendidikan.

Hal ini nyata berpengaruh kepada pilihan pekerjaan yang didominasi bidang pendidikan, yaitu 29% dari 144 orang yang dipekerjakan, memiliki profesi yang berkaitan dengan mengajar.

Penyerapan pekerja tunanetra yang tinggi pada bidang pendidikan menjadi salah satu indikator tingginya minat tunanetra berkarir di sektor ini. Namun hal ini juga dapat dilihat dari sudut pandang berbeda.

Sebagai lembaga yang mengayomi tunanetra di Indonesia, Mitra Netra berpendapat bahwa banyaknya tunanetra yang berprofesi pada bidang pendidikan membuat calon tenaga kerja tunanetra hanya melihat bidang ini yang potensial bagi mereka.

Padahal dengan perkembangan industri teknologi yang masif, bidang ini juga dapat menyerap cukup besar tenaga kerja tunanetra di Indonesia. Filipina dan Vietnam dapat mejadi contoh konkret dari peran potensi industri pada penyerapan tenaga kerja di bidang teknologi.

Masuknya tunanetra pada industri teknologi juga akan mendapatkan dukungan kuat dari perkembangan perangkat teknologi, khususnya perangkat lunak yang dapat mendukung pekerjaan pada bidang ini.

Dari data yang dihimpun, bahkan terungkap, sebagian tunanetra yang bekerja pada industri teknologi sebenarnya tidak memiliki latarbelakang akademik di bidang tersebut, namun, mereka memiliki minat yang tinggi untuk membangun karir sebagai programmer. Situasi ini dapat mendorong diadakannya pelatihan keterampilan di bidang TI, sehingga penyerapan pekerja tunanetra di sektor ini diharapkan terus meningkat.

Kualifikasi pendidikan saja tidak cukup untuk mendapatkan pekerjaan yang baik. Keterampilan interpersonal, komunikasi, dan lainnya, yang umumnya termasuk dalam pelatihan soft skill, telah menjadi salah satu faktor kunci yang membantu mereka mendapatkan pekerjaan.

Oleh karena itu, pengembangan soft skill, yang sangat penting dalam mendapatkan pekerjaan dan mengembangkan karir, perlu ditekankan pada penyandang tunanetra sejak tingkat sekolah.

Penelitian ini mengungkap bahwa individu tunanetra yang telah berhasil memasuki dunia kerja menunjukkan sejumlah keterampilan utama yang berperan penting pada kesuksesan mereka. Persiapan mental untuk bekerja harus menjadi materi utama pada program pelatihan soft skill.

Seperti, kemampuan untuk belajar dan bekerja sama secara efektif dalam tim, memegang teguh etika kerja yang baik, serta memiliki tujuan pengembangan karir profesional yang jelas menjadi fondasi yang kuat.

Selain itu, mereka juga menunjukkan ketangguhan menghadapi kritik eksternal, memiliki harga diri yang sehat, dan mampu membangun interaksi positif dengan rekan kerja.

Keterampilan-keterampilan ini tidak hanya membantu mereka beradaptasi dan berkembang di lingkungan kerja, tetapi juga berkontribusi pada terciptanya lingkungan kerja yang lebih inklusif dan produktif.  

Beberapa keterampilan yang perlu ditingkatkan oleh para pencari kerja tunanetra, antara lain komunikasi non-verbal, keterampilan berdiplomasi, kemampuan mempersiapkan resume, pengetahuan tentang undang-undang ketenagakerjaan, dan keterampilan menulis.

Untuk mengatasi hal ini, pelatihan khusus tentang bahasa tubuh dan ekspresi wajah yang mengutamakan praktik dan simulasi dapat membantu meningkatkan komunikasi non-verbal. Pelatihan tentang resolusi konflik, negosiasi, dan komunikasi asertif dapat meningkatkan keterampilan diplomasi.

Berbagai pihak, termasuk keluarga, institusi pendidikan tinggi, organisasi masyarakat sipil atau LSM, dan teman sebaya, memainkan peran penting dalam mendukung penyandang tunanetra.

Mereka berfungsi sebagai motivator dan pendukung utama untuk mempersiapkan individu tunanetra memasuki dunia kerja, baik untuk kesiapan mental maupun keterampilan profesional.

Pemberi kerja, baik sektor pemerintah maupun sektor swasta memiliki peran yang sangat penting untuk meningkatkan penyerapan tenaga kerja tunanetra di Indonesia. Fakta menunjukkan, masih terdapat ketidakpahaman, ketakutan, bahkan persepsi keliru para pemberi kerja tentang kemampuan tunanetra bekerja secara inklusif. Sebagian besar pemberi kerja di Indonesia belum memahami bahwa tunanetra dapat menggunakan komputer.

Untuk mengatasinya, hasil penelitian merekomendasikan diadakannya forum yang dapat mewadahi para pemberi kerja untuk berdiskusi dan berbagi informasi. Forum diskusi ini dapat dihadiri oleh pemberi kerja yang telah memiliki karyawan tunanetra serta pemberi kerja yang belum dan diharapkan merekrut karyawan tunanetra agar dapat mengikis kekhawatiran, mispersepsi, dan ketidakpahaman tersebut.

Bagi Indonesia, mandat yang diberikan Undang-Undang Penyandang Disabilitas kepada pemerintah pun telah sangat jelas. Pemerintah daerah berkewajiban membentuk Unit Layanan Disabilitas (ULD) sektor ketenagakerjaan yang bertugas menjembatani dan memfasilitasi pemberi kerja yang diharapkan menerima karyawan tunanetra, dengan tunanetra yang berkeinginan bekerja di sektor formal.

Mitra Netra, sebagai lembaga yang memberdayakan tunanetra di sektor ketenagakerjaan, memiliki perhatian khusus untuk mendampingi, agar ULD sektor ketenagakerjaan ini dapat menjalankan tugasnya dengan lebih maksimal.

Kesadaran masyarakat tentang kebutuhan dan potensi penyandang tunanetra untuk berkarir secara inklusif juga perlu terus dibangun. Masyarakat luas juga memiliki peran untuk membangun lingkungan yang lebih inklusif. Bagi tunanetra, dukungan tersebut juga memberikan rasa aman, diterima, dan dicintai, yang penting bagi kesejahteraan psikologis mereka.

Pada akhirnya, dengan dukungan berbagai pihak, penyandang tunanetra tidak hanya dapat lebih aktif berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial, budaya, dan politik, tetapi juga akan memiliki kepercayaan diri yang lebih tinggi untuk memasuki dunia kerja, dan mengembangkan potensi mereka.

Memberdayakan tunanetra dengan melibatkan mereka secara penuh di pekerjaan sektor formal adalah investasi yang berharga untuk bangsa dan negara. Dengan memiliki pekerjaan, tunanetra akan mandiri secara finansial, tidak tergantung pada bantuan sosial pemerintah, akan menjadi pembayar pajak, yang berarti turut berperan dalam pembiayaan pembangunan negara.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

TERKINI