Suara.com - PT Krakatau Steel Tbk yang pernah menjadi kiblat industri baja nasional, kini merintih kesakitan. Perusahaan pelat merah ini dulu begitu disegani hingga pengusaha baja China datang berguru.
Namun, seiring berjalannya waktu, Krakatau Steel justru terjerat dalam lilitan utang triliunan rupiah.
Maraknya impor baja dari China menjadi salah satu penyebab utama kemerosotan Krakatau Steel saat ini.
Produk-produk baja China yang lebih murah membanjiri pasar domestik, membuat produk dalam negeri sulit bersaing. Kondisi ini semakin diperparah dengan sejumlah masalah internal perusahaan, seperti efisiensi produksi yang rendah dan utang yang terus membengkak.
Kini perusahaan dengan kode saham KRAS ini sedang harap-harap cemas karena proses restrukturisasi utangnya akan ditentukan bulan Oktober 2024 ini kepada para krediturnya.
Mengutip Bloomberg pada Senin (30/9/2024) total restrukturisasi utang KRAS mencapai USD1,5 miliar atau setara Rp22,68 triliun menurut sumber.
Didirikan pada tahun 1970, Krakatau Steel pernah menjadi tuan rumah bagi para industrialis dari Cina yang ingin belajar bagaimana negara mereka dapat mempercepat produksi baja sendiri. Maju beberapa dekade dan perusahaan Indonesia ini tiba-tiba harus bergulat dengan tumpukkan utang yang menggunung.
Menriknya kondisi ini terjadi usai makin maraknya baja impor asal China dengan harga yang jauh lebih murah.
Sebelumnya Krakatau Steel juga pernah melakukan restrukturisasi utang senilai USD2 miliar pada tahun 2020. Ketika itu, kinerja bisnisnya anjlok karena digempur baja impor yang lebih murah dari Cina dan beberapa tempat lain.
Baca Juga: BUMN Krakatau Steel Terlilit Utang Puluhan Triliun, Nasibnya Ditentukan Oktober Ini
Menurut sumber itu pula, kini Krakatau Steel memohon kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) untuk melindungi industri baja lokal dengan membatasi impor baja berkualitas rendah.
Akan tetapi, kebakaran di salah satu pabriknya tahun lalu menyebabkan kinerja Krakatau Steel memburuk lagi. Direktur keuangan Krakatau Steel mengatakan bahwa perusahaan perlu merestrukturisasi pinjamannya.
Sejauh ini belum ada tanggapan dari Krakatau Steel maupun Kementerian BUMN tentang kabar tersebut.
Dalam keterbukaan informasi BEI awal bulan September 2024 kemarin, Direktur Utama Krakatau Steel Purwono Widodo mengatakan bahwa pemegang saham telah menyetujui program Rencana Penyehatan Keuangan (RPK), salah satunya meliputi aspek skema restrukturisasi lanjutan dalam penyelesaian utang tranche A, B, dan C.
Purwono menyampaikan bahwa perseroan telah membayar sebagian pokok utang dan bunga dengan nilai total sebesar US$509 juta. Pembayaran ini membuat utang perseroan kepada kreditur tersisa USD1,5 miliar.
"Sehingga kami punya napas dan bisa menjaga bisnis perusahaan dalam jangka panjang,” ungkap Purwono.
Para kreditur KRAS itu terdiri dari sejumlah bank BUMN hingga swasta.
KRAS juga telah mencapai master restructuring agreement (MRA) bersama 10 kreditur pada 2019 dan 2020 lalu, dengan total sebesar USD1,94 miliar.
Beberapa kreditur tersebut yakni PT Bank Mandiri Tbk (BMRI), PT Bank Negara Indonesia Tbk (BBNI), PT Bank Rakyat Indonesia Tbk (BBRI), PT Bank CIMB Niaga Tbk (BNGA), PT OCBC NISP Tbk (NISP), PT Bank ICBC Indonesia, Lembaga Pembiayaan Ekspor Indonesia, PT Bank DBS Indonesia, Standard Chartered Bank Indonesia, dan PT Bank Central Asia Tbk (BCA).