Suara.com - Pelaku usaha di industri rokok elektronik memprotes hadirnya Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang secara tegas mengatur ketentuan kemasan polos tanpa merek.
Beleid yang bertentangan dengan Undang Undang Nomor 17 Tahun 2023 tentang Kesehatan dan Peraturan Pemerintah (PP) 28 Tahun 2024 tersebut akan makin memperlemah kinerja industri rokok elektronik dan mengancam hilangnya pendapatan negara hingga serapan tenaga kerja di industri yang mayoritas usaha mikro kecil dan menengah (UMKM) ini.
Ketua Asosiasi Personal Vaporizer Indonesia (APVI), Budiyanto, menyatakan semua lini di industri rokok elektronik akan sangat terdampak akibat RPMK. Sebab, kebijakan itu berpotensi besar mendorong tumbuhnya peredaran rokok elektronik ilegal, yang tidak berpita cukai, di pasaran.
Kelangsungan industri rokok elektronik atau yang disingkat “REL” ini kian tertekan dan pemerintah bakal kehilangan penerimaan cukai. Industri REL juga menyerap tenaga kerja langsung dan berkontribusi pada pendapatan industri terkait, seperti industri kreatif yang juga akan terdampak dari aturan ini.
"Kita tidak sepakat dengan aturan ini, mengingat industri rokok elektronik bukan hanya sebagai solusi alternatif menurunkan risiko terhadap adiksi. Ada banyak faktor yang turut serta dalam industri rokok elektronik seperti industri kreatif, content creator, bahan baku, dan lainnya. Pengaturan kemasan yang terlalu ketat akan membatasi inovasi dalam industri kreatif," jelasnya dikutip Senin (30/9/2024).
Budiyanto menegaskan pemerintah seharusnya melihat kebijakan tersebut secara komprehensif, bukan hanya melihat dari sisi preventif. Pasalnya, industri rokok elektronik cukup memberikan kontribusi dalam membuka lapangan pekerjaan baru dan pemasukan bagi pemerintah.
Dengan misi besar pemerintahan baru untuk mencapai target pertumbuhan ekonomi sekitar 8 persen, industri rokok elektronik dapat berpartisipasi asal didukung regulasi yang melindungi kelangsungan usaha.
“Industri rokok elektronik memiliki potensi besar untuk berkontribusi secara signifikan. Namun, regulasi yang ada saat ini justru mengancam pertumbuhan industri ini. Kami berharap pemerintah dapat bekerja sama untuk meninjau kembali regulasi ini, demi mendukung pertumbuhan ekonomi yang lebih inklusif dan berkelanjutan," ujar Budiyanto.
Pada kesempatan berbeda, praktisi hukum administrasi negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia (UI), Hari Prasetiyo, menjelaskan kehadiran RPMK seharusnya memperkuat aturan yang ada di dalam UU Kesehatan Nomor 17 Tahun 2023 dan PP 28/2024, bukan membuat pengaturan yang bertentangan dengan keduanya.
Baca Juga: Bikin Polemik, Pemerintah Kebijakan Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Dikaji
"Wacana kemasan polos tanpa merek berpotensi menimbulkan permasalahan baru seperti persaingan usaha, isu perlindungan konsumen, isu Hak Kekayaan Intelektual (HKI), dan pengendalian tembakau tanpa ratifikasi," ucapnya, Minggu (29/9/2024).