Suara.com - Ketidakpastian ekonomi, e-Commerce, pinjaman online (Pinjol), peningkatan pajak hingga judi online (Judol) diduga kuat jadi penyebab daya beli masyarakat turun. Data penurunan daya beli masyarakat tahun 2024 dibandingkan tahun 2023 dan 109 tersebut disampaikan oleh Presiden Direktur (Presdir) PT. Bank Central Asia Tbk (BCA).
Pinjol contohnya, Presdri BCA mengatakan,, pinjol dan judol menggerogoti daya beli masyarakat. Hal itu tidak hanya terjadi pada kalangan menengah saja tetapi juga orang-orang dari kelas ekonomi atas. Penyebab daya beli masyarakat turun diawali dengan kemunculan subsidi belanja online dari platform e-commerce paska pandemi Covid-19.
Seperti yang telah diketahui bahwa selama pandemi, platform e-commerce memberikan diskon, gratis ongkos kirim, dan promo lainnya untuk mendapatkan income dari pengguna. Di tahun 2022, uang yang digelontorkan untuk subsidi belanja online ini tembus Rp80 triliun.
Kemudian terjadi ledakan paska pandemi, e-commerce mengurangi subsidi tersebut untuk mendapatkan keuntungan. Alhasil, masyarakat yang semula bergantung pada subsidi dari e-commerce menghemat pengeluaran mereka. Di sisi lain, setelah pandemi masyarakat mulai menggunakan Pinjol.
Baca Juga: Bisnis Kecantikan Diprediksi Terus Tumbuh Meski Ada Pelemahan Daya Beli dan Kelas Menengah
Syarat pengajuan pinjol yang dipermudah membuat pinjol laku keras. Akan tetapi, kemunculan pinjol ini terlambat diantisipasi sehingga banyak masyarakat yang juga terjebak dalam pinjol ilegal yang menjerat mereka dengan bunga tinggi. Agar bisa menutupi pinjaman tersebut, masyarakat terpaksa membayar dengan mengurangi kemampuan belanja mereka atau pinjam lagi ke platform pinjol lain. Hal itu bisa menyebabkan seseorang lari dari satu pinjol ke pinjol yang lain.
Hal ini diperburuk dengan kebijakan pemerintah yang meningkatkan pajak. Peningkatan pajak cenderung mengurangi daya beli masyarakat karena pajak mengurangi pendapatan riil. Pajak dipotong dari penghasilan, sehingga ketika pajak naik, pendapatan riil berkurang, yang berarti seseorang bisa membeli lebih sedikit barang dan jasa dibandingkan sebelum kenaikan pajak.
Ketidakpastian ekonomi belakangan juga jadi sorotan pasca Pandemi COVID-19 yang melanda dunia sejak 2020 hingga 2023 silam.
Data Penurunan Daya Beli Masyarakat Tahun 2024 Dibandingkan 2023 dan 2019
Perbedaan data penurunan daya beli masyarakat tahun 2024, dibandingkan tahun 2023 dan 2019 dapat kita telusuri dari tingkat inflasinya. Di tahun 2023, tingkat inflasi mencapai 2.61 persen. Tingkat inflasi tersebut merupakan terendah dalam kurun waktu 20 tahun. Akan tetapi, daya beli masyarakat justru melemah.
Baca Juga: Daya Beli Lesu, Tapi Data BI Tunjukkan Hasil Berbeda
Daya beli masyarakat dihitung dari komponen inflasi inti yang merupakan indikator untuk mengukur inflasi di luar harga pangan dan bahan bakar sehingga sifatnya cenderung menetap atau persisten. Komponen inflasi inti diukur dengan mempertimbangkan interaksi permintaan-penawaran, sehingga digunakan untuk mengetahui daya beli masyarakat. Inflasi inti bisa mencerminkan daya beli masyarakat secara agregat.
Konsumsi rumah tangga masyarakat atau kemampuan daya beli masyarakat di tahun 2024 berdasarkan id.tradingeconomics.com berdasarkan data per Juni 2024 adalah Rp 1.66 miliar. Kemudian di tahun 2023 daya beli masyarakat tercatat mencapai Rp1.58 miliar.
Lalu di tahun 2019, daya beli masyarakat hanya Rp1.44 miliar. Sebetulnya, daya beli masyarkat di tahun 2024 lebih tinggi dibandingkan ditahun 2023 dan 2019. Akan tetapi, angka tersebut tidak memiliki perbedaan signifikan dibandingkan tahun 2019. Terlebih, pengeluaran mereka kebanyakan untuk pinjol, judol, dan e-commerce. Daya beli masyarakat di tahun 2024 mengalami tekanan disebabkan juga oleh kenaikan harga kebutuhan pokok dan pendapatan yang stagnan.
Kontributor : Mutaya Saroh